Mohon tunggu...
Herri Setiawan
Herri Setiawan Mohon Tunggu... -

socialpreneur, trainer, developer

Selanjutnya

Tutup

Money

Cara Pandang Terhadap Uang

10 Agustus 2011   10:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Uang….lagi-lagi uang…wouwow…Uang ” Itulah kutipan dari bait lagunya Godbless, salah satu group band rock terkenal indonesia. Betapa uang dan cara memperolehnya menjadi suatu pembahasan yang menarik buat kita, bahkan ada ungkapan bahwa mata orang langsung berubah ‘hijau’ ketika bicara atau melihatnya. Cara pandang atau pola pikir seseorang tentu mempengaruhi bagaimana mereka bersikap dan berperilaku. Seiring waktu, muncul dua cara pandang terhadap uang. Uang adalah segalanya. Uang menjadi alat ukur kredibilatas atau kasta seseorang, sehingga kebanyakan orang berlomba-lomba untuk mengejarnya bahkan cenderung mengorbankan apa saja bahkan sampai dirinya sendiri. Pandangan ini bukan tanpa efek, Karena sikap dan perilaku ini tidak sedikit orang yang menjadi sangat materialis. Bahkan orang-orang yang merasa pernah jadi korban perilaku materialis ini pada akhirnya memunculkan pandangan yang kedua. Uang bukanlah segalanya. Menurut mereka uang menjadi sumber kejahatan, jadi buat apa capai-capai mencari dan mengumpulkannya. Kelompok ini tidak terobsesi dengan uang, merasa cukup dengan yang mereka miliki. Padahal banyak diantaranya hidup tetap pas-pasan dan bertahan dengan ketiadaan, ironis bukan..? Bahkan ada yg melibatkan alasan agama dengan kata zuhud yang bermakna mengambil secukupnya karena kondisi orang tersebut memang berlebih atau berkelimpahan uang, padahal sebenarnya kebutuhan dasarnya pun belum tercukupi sehingga menempatkan zuhud tidak pada tempatnya. Cara pandang ini kemudian juga menjadi jargon yang sering kita dengar “uang bukanlah segalanya” , namun jargon ini tanpa disadari adalah racun yg menyebabkan seseorang merasa nyaman dengan keterbatasan sehingga akibatnya yg paling fatal adalah merasa tidak perlu berusaha. Mereka mengalami demotivasi (baca: tidak punya semangat) untuk merubah keadaan keuangannya. Kedua pandangan diatas ‘terkesan’ bertolak belakang. Mengapa dikatakan demikian karena pada arah kedua golongan ini terlihat saling bersebrangan, akan tetapi jika dilhat hasil akhir dari masing-masing golongan hasilnya sama, keduanya akan merugi bahkan binasa, kelompok pertama merugi karena segala cara menghasilkan pertikaian dan dendam dan kelompok kedua merugi karena ia tidak akan maju karena tidak berusaha, Namun kedua pandangan ini dapat mengantarkan kita utk mengambil cara pandang alternatif yang positif dan proporsional tentang uang dan mudah2an menjadi ‘mainstream’ baru. Yaitu… Uang bukan segalanya, tapi segalanya yang penting berkaitan dengan uang. Cara pandang ini jauh lebih moderat, karena mendudukan uang secara proporsional. Tidak mendewakannya juga tidak menjauhinya. Uang bisa menjadi sarana utk senantiasa berbuat kebaikan dan pahala. Bayangkan ketika hati kita tersentuh melihat pengemis2 kecil berkeliaran di jalan tanpa bisa membantu mereka keluar dari keterpurukannya, hadir dalam suatu lelang yang dananya akan dibelikan utk membeli rumah yang jadi sarana sosial dan pendidikan kaum dhuafa tapi lidah kelu untuk menyebutkan jumlah yg akan didonasikan, pasti sulit bukan ? Pikiran kita akan terbawa kepada sebuah angan kalo saja saya punya uang, andai saja saya bisa langsung berikan cek yang jumlahnya tinggal diisikan sesuai kebutuhan oleh panitia lelangnya, atau membawa serta seluruh anggota keluarga besar untuk pergi umroh/haji bersama. Disinilah peran penting uang, bagaimana hal-hal yang baik juga membutuhkan uang bahkan sampai pada aspek pribadi-religi atau ibadah sebagai upaya menunaikan kewajiban seorang hamba-Nya pun membutuhkan uang utk membayarnya. Kita posisikan uang hanya dalam genggaman, bukan sebagai tujuan. Mendapatkan dan melepaskan uang dengan begitu mudah, karena kita punya mesin uang yang bekerja untuk kita. Satu satuan waktu adalah sekian juta satuan rupiah yang kemudian akan berbuah sekian juta satuan amal. Pola pikir seperti inilah yang akan membantu kita menempatkan uang pada proporsinya. Jika tujuan akhir hidup kita adalah kebahagiaan dunia dan akhirat maka dengan mesin uang yg bekerja maka secara seimbang kita akan memiliki pasif income dunia dan pasif income akhirat. (Li/herse)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun