Sepanjang perjalanan study UK, bakso buatan mas Man mungkin salah satu yang terlezat. Terlebih disantap beriring semilir angin dingin diakhir summer. Rasanya pas sekali.
Siang itu HP saya berdering singkat, tanda pesan BBM baru datang. Ternyata dari mba Indah, menawarkan beberapa perkakas dapur yang bisa dipakai. Maklumlah, saya baru satu dua bulan menginjakkan kaki di Inggris. Namun yang terpenting dari pesan BBM itu adalah: menikmati hidangan daging khas warung jati bernama Bakso.
Bakso ini special karena dihidangkan pas ketika masa-masa 'kangen kampong' mulai mencekik. Tapi yang menjadi special, bakso ini diramu oleh tukang insinyur perminyakan: Mas Man, suami mba Indah. Dan yang paling menjadikan rasa bakso mas Man begitu istimewa adalah diskusi yang mengalir selama mencampur campur bahan adonan bakso.
Sebagai lulusan teknik ITB, bukan perkara sulit bagi mas Man menakar bahan bahan yang diperlukan. Diatas timbangan elektronik, mas Man tahu benar berapa gram dari tiap-tiap material yang dibutuhkan. Semuanya pas. Tidak lebih dan tidak kurang. Seperti apa yang dia pelajari di YouTube.
Tapi untuk perkara cinta, mas Man berbeda. Ia tidak pernah pas dalam timbangan. Ia lebihkan cinta dan pengorbanannya untuk istri dan anak-anaknya diatas ego cintanya sendiri. Ini yang tidak saya miliki, dan benar-benar saya pelajari dari mas Man dan adonan baksonya. Bayangkan, karir "insinyur minyak" yang lagi moncer dengan taburan fulus fulus di negeri Timur Jauh itu dia abaikan. Beberapa kali ia bolak balik UK - Arab dijalani, namun toh ia tak kuasa melihat beban istri dan anak-anaknya. Diakhir cerita, beliau resign dan menekuni masakan baksonya. Yang menarik dari kisahnya, sedikitpun tidak ada kata cela, atau bahkan sedikit gores penyesalan dari keputusan yang ia buat itu. Wajah nya bersahaja berbalut sifat pendiamnya. Namun satu yang saya catat dari kisahnya: cinta dan keikhlasannya menjalani hidup.. tanpa beban ego.
Mungkin sekitar dua jam kami mengaduk-aduk adonan bakso. Sampai kemudian adonan bola bola kecil itu matang diair rebusan. Kami pun menikmati bakso lezat buatan mas Man. Bersama kuah, mie dan sayuran. Sangat enak sekali.
Hari mulai senja, saya dan mas Hamzah pulang. Sepanjang tuas pedal yang saya injak agar roda sepeda berputar, pikiran saya bergemul tentang ego yang sampai hari ini berat untuk ditaklukan. Selain, ingin juga membuat bakso selezat racikan mas Man.
Ketika sampai di flat, saya bergegas menuju dapur. Ingin rasanya menjajal ilmu memasak yang baru saja saya pelajari. Kebetulan bumbu dan adonan lengkap. YouTube juga sdh dimainkan di Tablet. Dan saatnya beraksi.
Dua jam kemudian semua berakhir, hampir sama dengan waktu yang dibutuhkan mas Man sore sebelumnya. Hasilnya tidak jauh berbeda, hanya beda nama saja. Mas Man berhasil dengan baksonya, saya cukup dengan cilok saja. ... cukup membuat dada terisak isak. Seperti pepatah jawa kuno, tidak ada bakso, cilokpun jadi..
Memang saya gagal di Bakso, tapi dengan cilok saya menyimpan banyak pelajaran dari Mas Man tentang ego. Walau kalau mau jujur, kalimat terakhir ini sebenarnya untuk menghibur saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H