Mohon tunggu...
Herri Mulyono
Herri Mulyono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Bercita-cita menjadi pribadi sejati yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Website: http://www.pojokbahasa.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Saya, Bung Sulak, dan Sapardi

28 Juli 2020   16:38 Diperbarui: 28 Juli 2020   16:43 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: CNN Indonesia

Suara bu Lela dikelas seperti gadis sedang jatuh cinta, seperti sedang berkasih-sayang dengan pacarnya. Mungkin karena Bu Lela masih gadis, imut-imut, dan, seingat saya, masih baru-barunya mengajar. Soleh, Sukur, Endang dan Siregar sering sekali menggoda bu Lela yang alisnya mengukir bola matanya yang hitam. 

Bu Lela bertubuh kecil, si Endang itu bertubuh tinggi, kaya bujang yang siap kawin. Jadilah mereka couple, kalau bersanding bersama. Endang sering mengintil bu Lela demi mencium parfum bu Lela yang semerbak aromanya. Bu Lela baru menyemprot parfum itu sebelum masuk kelas. Itu dugaan saya saja.  

Sesekali si Endang ingin memeluk bu Lela yang kecil itu. Dasar berandalan mereka itu! Guru kok digoda-goda dengan cinta monyet, dari anak baru gede, pikir saya. Tapi fakta bahwa bu Lela itu cantik benar adanya. Hanya saja, saya ga bisa jatuh hati kepada bu Lela, saya sudah punya pujaan hati.  

Bu Ros kemudian menyebut nama Sapardi dengan lantang, pada suatu waktu pembajaran bahasa Indonesia, di sebuah ruang kelas SMA yang memojok, dekat kantin, dengan aroma nasi uduk dan pisang goreng yang menjadi menu pokok saya tiap pagi. Tatapan mata Bu Ros melengkapi suaranya yang agak ditinggikan itu, walau terkesan dipaksakan. Aslinya, suara bu Ros itu kecil sekali, sama lembut dengan bu Lela, tapi beda cantiknya.


***

Berulang-ulang saya temukan nama Sapardi dalam buku kumpulan sastra yang dipinjamkan bu Lela. Saya baca kembali di kelas satu es-em-a bersama bu Ros. Tapi saya menyesali kurang membaca mahakarya Sapardi. Saya mulai membaca-baca karya Sapardi justru sepeninggal dirinya. Ketika bung Sulak, Ewith Bahar dan para penyair lainnya menangisi Sapardi yang telah menutup mata selamanya. Saya menyesali kepergiannya, mengekor kata-kata bung Sulak:

"Saya berharap ia tak selalu membukakan pintu. Saya ingin ia menolak ketika yang datang kepadanya adalah kematian."

Kemarin saya membeli beberapa novel Sapardi, salah satunya karya yang terkenal itu, Hujan Bulan Juni. Padahal, buku ini telah ada diperpustakaan GOR Jakut sejak bulan puasa dua puluh lima tahun yang lalu. Saya baca dengan seksama, dengan segala detail yang uraikan Sapardi. Ceritanya indah sekali.  

Saya juga menyalin puisi cinta 'Aku Ingin' Sapardi ditelepon genggam. Saya buatkan quote dengan perank-pernik ekspresi cinta. Saya akan gunakan untuk merayu dan menggombal, pikir saya.  

Kuno! orang telah menulis puisi cinta itu sedari dulu, ketika puisi itu menjadi terkenal dan dinyanyikan AriReda. Bahkan Najwa Shihab pun pernah termakan sihir puisi itu. Dia menyesal! saya kutip itu dari mulut Nana di Asean Literary Festival 2016. Oh Tuhan, Saya benar-benar telat!

Seandanya saja saya kenal bung Sulak sedari dulu, mungkin saya akan mengenal Sapardi dengan novel-novel dan puisi-puisi cintanya. Lebih dari gambaran bu Lela dan bu Ros, serta cerita Sapardi dibuku-buku pelarajan saya dulu. Dan saya yakin saya akan turut jatuh cinta, bersama para penyair nusantara. Jatuh cinta kepada Sapardi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun