Dahulu ketika mengajar di sekolah, saya semangat sekali untuk mengaplikasikan pembelajaran online. Pada saat itu, teknologi yang sedang berkembang adalah blog, dan saya memilih menggunakan Wordpress. Pembelajaran online saya desain dalam bentuk interaktif: presentasi, distribusi materi pembelajaran, penugasan dan komunikasi. Tujuannya untuk menunjang pembelajaran bahasa Inggris pada kelas tatap muka kelas X dan XI.
Sangkin semangatnya, aktivitas online saya berikan dua minggu sekali, dan kemudian menjadi seminggu sekali. Rasanya senang sekali bisa mengintegrasikan teknologi dalam kelas pembelajaran bahasa asing.
Suatu ketika, saya dipanggil Wakasek Bidang Kurikulum pada saat itu, Pak Taga Radja Gah. Kami berdiskusi tentang aktivitas pembelajaran yang saya lakukan. Pak Taga sangat support sekali, namun diujung diskusi ada satu titik yang membuat saya termenung: ada banyak siswa yang berjuang untuk mendapatkan uang buat ke Warnet; dan ini dalam banyak hal memberatkan orang tua, pak Taga mengingatkan.
Butuh waktu panjang buat saya untuk merenung, bahwa integrasi teknologi dalam pembelajaran ternyata bukanlah hal yang murah. Untuk sebagian orang memang sederhana dan gampang didapat, tapi banyak juga siswa saya berasal dari golongan yang tidak mampu. Walhasil, saya merubah metode dan jenis teknologi yang saya gunakan.
Kemarin, saya sempat ditanya beberapa kolega, jenis pembelajaran dengan video conference apa yang saya gunakan.
'Saya tidak menggunakan video conference apappun', saya jawab.
'Saya memilih metode asinkronus dengan beragam aktivitas online dengan moda dan biaya yang lebih terjangkau'
'Dan saya mempercayakan siswa untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri secara independen, jadi lebih fleksibel'
Seorang kolega kemudian berkomentar di grup, beberapa mahasiswa mulai mengeluh besarnya kuota yang harus dikeluarkan. Bisa bayangkan kalau semua dosen menggunakan Zoom, dan biaya yang harus dikeluarkan minimal Rp. 5000 - Rp. 20.000. Biaya ini bukan hal yang murah untuk sebagian orang.
Juga anak-anak yang belajar melalui Whatsapp, dimana mereja diwajibkan merekam activistas belajarnya dalam bentuk video dan mengunggahnya. Tentu meraka membutuhkan kuota yang cukup untuk melakukan aktivitas belajar ini
Tentu jawaban/ pendapat saya diatas  berdasarkan  konteks dan karakteristik kelas saya. Untuk kolega dengan karakteristik kelas yang berbeda dan ketersediaan teknologi yang sangat baik. Video conference tetap pilihan yang terbaik.
Oh ya, buku Teaching in a digital age karya Tony A Bates sangat bagus untuk referensi bacaan. Jika ingin mendownload bisa di opentextbc.ca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H