Mohon tunggu...
Herri Mulyono
Herri Mulyono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Bercita-cita menjadi pribadi sejati yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Website: http://www.pojokbahasa.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mewaspadai Dampak Wisata Mall pada Anak

22 Februari 2016   08:34 Diperbarui: 22 Februari 2016   09:57 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi Wisata Mall"][/caption]Keberadaan mall merupakan bagian tak terpisahkan di kota-kota besar di Tanah Air. Bagi masyarakat perkotaan, mall bukan sekedar tempat  berbelanja dan berlibur, lebih dari itu, berkunjung ke mall merupakan bagian dari aktivitas yang memperlihatkan status dan kelas sosial seseorang di masyarakatnya.

Sebagai tempat hiburan, mall menyuguhkan beragam permainan sebagai alternatif "penitipan anak" sementara sang ibu sibuk berkeliling mencari-cari benda yang ingin dibeli. Di mall, kita dapat dengan mudah menemukan fasilitas bermain mandi bola, slides, kereta-keretaan hingga permainan berteknologi canggih. Di tempat-tempat makan cepat saji pun sering kita temui fasilitas semacam ini. 

Tapi jangan berpikir fasilitas permainan anak itu free atau gratis. Karena memang sebagai tempat berlibur, segala fasilitas di mall ada harganya: mulai dari tempat parkir, penitipan barang, sarana bermain anak, sampai dengan toilet. Alasannya sederhana, sebagai biaya perawatan. Untuk sekali main mandi bola misalnya, seorang anak dikenakan biaya mulai dari Rp5.000,- untuk 30 menit bermain. Bahkan ada banyak permainan yang bernilai sampai dengan ratusan ribu rupiah untuk sekali main saja. Dan bila pun gratis, pengunjung tetap saja diminta untuk "membeli produk makanan" sebagai kompensasinya.

Di banyak kota-kota negara maju ruang terbuka hijau sedang digalakkan menjadi sarana berlibur. Di beberapa kota besar di Inggris misalnya, taman hijau terbuka merupakan bagian dari dinamika hidup masyarakat perkotaan. London sebagai salah satu kota modern termahal di dunia misalnya. Kota ini masih menyediakan beragam taman-taman terbuka yang selalu padat pengunjung. Selain juga sarana museum yang tertata rapi dan terintegrasi dengan taman simulasi dan bermain bagi anak. Menariknya fasilitas ini semuanya gratis.

Kondisi di banyak kota besar di Tanah Air justru memperlihatkan sebaliknya. Di kota-kota besar ini banyak ruang terbuka hijau beralih fungsi menjadi tempat wisata modern, berbentuk mall-mall itu. Mengapa? Mall adalah tempat untuk mendulang keuntungan bagi para pengusaha yang tidak sedikit jumlahnya. Karena memang pola hidup masyarakat perkotaan yang cenderung modern, konsumtif dan tentunya materialistis. Alhasil, mall kemudian dieksploitasi untuk memuaskan tiga hasrat tersebut.

Kita mungkin tidak pernah menyangka dampak hiburan di mall terhadap pertumbuhan putra-putri kita. Karena pada hakikatnya proses pendidikan berlangsung setiap hari dalam setiap kondisi. Pun, seringnya orang tua mengajak putra-putri mereka ke mall merupakan bagian pendidikan bagi mereka. Bila kemudian mall selalu menjadi tujuan utama wisata keluarga, maka kondisi ini mall memfasilitasi pendidikan materialistis dan konsumtif bagi anak-anak kita.

Mengapa demikian? Berwisata di mall memberikan pendidikan kepada anak pola hidup materialistis serta perilaku konsumtif, termasuk juga ketika anak diarahkan pada sebuah kegiatan di mall yang hanya seputar window shopping, atau sekedar melihat-lihat produk di mall. Walaupun ketika anak “dititipkan” di tempat bermain atau wahana permainan mall dan tidak ikut orang tua berbelanja, namun pada hakikatnya anak tetap mengadopsi kebiasaan dari gaya berbelanja yang dicontohkan oleh orang tua, atau dalam konteks pemasaran dikenal dengan sosialisasi konsumen anak-anak.

Penelitian Dotson dan Hyatt (2005) yang dipublikasikan pada Jurnal of Consumer Marketing menemukan bahwa ada lima hal yang mendorong sikap konsumtif pada anak, yaitu pengaruh lingkungan sosial, televisi, pengaruh keluarga, kepentingan berbelanja, dan merek produk. Terkait dengan pengaruh keluarga, gaya hidup orang tualah yang sangat berperan. Dalam jurnal yang sama, Carlson dan Grossbart dalam artikelnya tahun 1988 mengulas peran orang tua yang mendorong perilaku konsumtif kepada anak-anak mereka. Walaupun, gaya dan kecenderungan orang tua dalam mempromosikan nilai-nilai konsumtif ini sangat beragam.

Dengan kata lain, ajakan orang tua untuk mengajak anak-anak mereka ke mall, baik untuk bermain, berlibur, berbelanja ataupun sekedar melihat-lihat pada hakikatnya adalah bentuk transfer perilaku hidup orang tua yang materialistis dan konsumtif. Dan sayangnya, model pendidikan langsung berupa ajakan dari orang tua ini adalah cara yang paling efektif dalam internalisasi nilai-nilai materialistis dan konsumtif tersebut pada anak.

Memang kita tidak dapat sepenuhnya mengatakan bahwa wisata mall tidak baik. Karena aktivitas mal mendorong roda perekonomian masyarakat dan banyak permainan yang dipandang menyenangkan bagi anak. Namun demikian, asumsi ini tampaknya hanya berlaku pada kelompok sosial tertentu. Dan tentunya baik atau tidaknya wisata mal ini pun sangat bergantung pada perspektif orang tua, dan orientasi dari status sosialnya.

Sebagai alternatif dari wisata mall yang cenderung mendorong pendidikan materialistis, orang tua sebenarnya dapat menawarkan model wisata edukatif lainnya yang berorientasi pada alam. Di ruang terbuka hijau ini anak-anak bukan hanya mendapatkan hiburan tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk berkreasi, bereksplorasi dan tentunya merangsang perkembangan kognitif, afektif motoriknya. Yang lebih penting adalah, menikmati wisata di ruang terbuka hijau bersama anak-anak yang lain dengan kelas sosial yang beragam sangat bermanfaat dalam melatih kemampuan sosialisasi anak. Bukan sebenar-benar ke mall.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun