[caption caption="Masih mau menelan berita hoax mentah-mentah? Sumber gambar: gettyimages.com / venturebeat.com"][/caption]Kita sepakat, bahwa belajar adalah aktivitas sepanjang hayat. Dengan kata lain, aktivitas yang kita jalani setiap hari, pada hakekatnya adalah proses belajar dan pembelajaran. Pada sebuah sisi kita belajar tentang sesuatu dari apa yang terjadi pada diri kita dan orang lain. Dan pada sisi lain, kita membelajarkan orang lain dari pengalaman keseharian kita.
Istilah kurikulum pendidikan hoax seperti pada judul diatas bukan tentang kurikulum pendidikan nasional kita, bahkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Karena memang, kurikulum pendidikan hoax ini diciptakan secara alamiah oleh masyarakat kita sendiri, mungkin termasuk saya dan Anda.
Seperti pada nama kurikulumnya, sekolahnya juga bernama sekolah hoax. Yaitu sekolah yang kita bangun untuk diri kita, kemudian kita ajak teman-teman kita untuk ikut belajar tentang hoax, menjadi ahli-hoax, dan menyebarkan hoax. Target pencapaian kurikulum di sekolah ini adalah menjadi penebar fitnah yang handal.
Syaratnya mengikuti pendidikannya hanya dua: 1) tutup kemampuan kritis kita, dan 2) jadilah emosional.
Proses belajarnya pun mudah, tidak perlu ribet. Pertama, ketika kita mendapatkan berita yang menyentuh SARA, jangan mencari pembanding, tidak usah cross-check. Tidak usah peduli pada berita sepotong-sepotong yang diterima itu benar atau salah.
Kedua, biarkan diri kita hanyut dalam emosi, serta empati terhadap berita itu. Rasa empati itu kita internalisasi seakan-akan kita merasakan, atau bagian dari kejadian yang ada pada berita itu. Tumbuhkan perasaan itu dalam-dalam, dan biarkan kita hanyut di dalamnya.
Dan ketiga, gunakan jempol sakti kita untuk men-share berita hoax itu. Jangan lupa tambahkan kata-kata yang mendramatisir perasaan kita seperti: "Tahukan bahwa bla bla bla", "Ternyata bla bla bla", "Selama ini kita telah di bohongi bla bla bla", "Parah, ternyata bla bla bla", "Mohon perhatian, bla bla bla", "Apa komentar teman-teman tentang bla bla bla", "Miris, ternyata bla bla bla", "Entah harus berbicara apa lagi, bla bla bla".
Untuk lebih jelas, saya ilustrasikan salah satu aktivitas saya di sekolah hoax.
[caption caption="Salah satu bagian buku yang disinyalir berisi muatan isu LGBT"]
Gambar di atas, pada awal artikel ini sudah pasti kita kenal. Gambar di atas telah di-share ribuan orang, termasuk di timeline/lininasa punya saya. Juga di group-group WA yang saya ikuti. Capture-nya sangat jelas: Miris, buku-buku LGBT telah masuk ke Indonesia. Dan beberapa capture yang senada seirama dengannya banyak. Gambarnya yang disajikan hanya sepotong-sepotong.
Responnya luar biasa. Komentarnya ratusan, yang tentunya berisi penghakiman tentang LGBT dari umat yang tampak 'religius'. Tidak perlu saya tuliskan contoh-contohya, anda pasti juga pernah baca.
Saya 'dipaksa' untuk taat. Kalau tidak, dituduh kafir. Dipaksa untuk mempercayai gambar di broadcast itu, dan meyakini pesan bahwa buku-buku kita sudah terkontaminasi LGBT.
Saya bukan pendukung LGBT, dan tidak pernah menyutujui perilaku itu. Tapi saya tidak bisa menghakimi mereka. Saya juga tidak bisa mengikuti pesan radikal, kecuali saya telah benar-benar yakin. Dan, saya tidak akan berbicara banyak tentang LGBT, karena saya yakin anda memiliki perspektif tersendiri.
Saya pun melanggar peraturan di sekolah hoax. Saya mencari buku itu dengan lengkap. Dan akhirnya saya temukan versi full nya di link ini http://www.lyzard.com/2007/07/28/and-kids-really-read-this-is-that-normal/. Agar lebih mudah memahami, saya tuliskan isinya (maaf saya tidak berhasil mendapatkan full judul buku tsb)
Halaman 2-3
Everybody thinks we are really happy. But I am not. My Dad is always working. And when he comes home, he screams a lot. That really hurts me.
Halaman 4-5
Mom cries sometimes because she does not know what to do. Then she holds me telling about her unhappiness and problems. It makes me feel very uncomfortable and strange. I really wish my dad would spend time with me instead of screaming and yelling.
Halaman 6-7
My uncle Pete comes over sometimes. He lives with us every now and then. He is really kind to me- holding me, listening to me and making me feel loved. One night when he was holding me, he started touching my private parts. Over time he taught me to touch and play with his. It felt very strange, scary and a little good to. He told me it was OK, that this means he really loves me. This went on for several months. He told me “This is our special secret”.
Halaman 8-9
Mom and Dad would fight. I thought they did not love me. Maybe they fought because of me. When I became a teenager, I started feeling really different from the other guys. Some of them called me names like “[censored]“, “[censored]“, “[censored]“, “[censored]“. I did not know what they meant.
Halaman 10-11 missing
Halaman 12-13
After a while, I went to a counselor for help and advice. I told him my story and that I thought I was gay. He said I wasn’t gay. I just missed my Dad’s love and was taught wring things by my uncle.
Halaman 14-15
He said it was very bad, what my uncle did to me. He should never have touched my private parts, or have me play eith his. The counselor said it wasn’t my fault, that my uncle took advantage of my need for Dad’s love. He explained that because I didn’t experience affection.
Halaman 16-17
He said he also would contact uncle Pete and make sure he got help. The counselor explained to my Mom and Dad about my struggle and need for Dad’s love. He told them of my confusion about being gay. He told Dad that I needed his TIME, TOUCH, and TALK.
Halaman 18-19 missing
Halaman 22-23
Mom and Dad went to a counselor who helped them love each other. They even stopped fighting.. well at least most of the time. My counselor and I met with uncle Pete. I told him how much he hurt me. He cried and asked me to forgive him. That helped me a lot.
Halaman 24
Now I realize that I am not gay. Spending time with my dad really helped m heart. All I needed was his time, touch and talk. Finally, I am happy at home.
Dari cerita diatas, tentu kita bisa memahami bahwa buku diatas bukan mengajarkan tentang gay. Bahkan isinya mulia sekali, tentang bagaimana merespon dan mengatasi perilaku menyimpang.
Karena melanggar peraturan, saya akhirnya dikeluarkan dari sekolah hoax. Tapi saya bersyukur sekali, akirnya saya bisa menggunakan otak saya untuk berpikir kritis.
Bagaimana dengan Anda?
Note: Tulisan di atas mengandung satir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H