Mohon tunggu...
Herri Mulyono
Herri Mulyono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Bercita-cita menjadi pribadi sejati yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Website: http://www.pojokbahasa.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Buku "Ini Budi" Begitu Dahsyat?

9 Februari 2016   06:24 Diperbarui: 9 Februari 2016   10:59 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Buku "Ini Budi" dengan Pengarangnya, ibu Siti Rahmani Rauf, Ilustrasi gambar: Medanbisnisdaily.com"][/caption]

Mereka yang lahir di tahun 80-90-an, atau generasi 80-90-an pasti familiar dengan buku Bahasa Indonesia: Belajar membaca dan menulis, Depdikbud terbitan PN Balai Pustaka, atau terkenal dengan buku "Ini Budi". Bagi saya pribadi, buku ini benar-benar dahsyat. Bahkan sudah lebih dari 25 tahun, saya masih ingat bentuk, warna, dan isinya.

Saya pun tergoda untuk mencari tahu mengapa buku ini betul-betul "berkesan" dan mampu menciptakan pengalaman pembelajaran yang bermakna atau diistilahkan "meaningful learning". Dan tulisan ini secara khusus saya tujukan kepada ibunda Siti Rahmani Rauf, penulis buku fenomenal itu. Semoga Allah merahmati beliau.

Beberapa alasan yang bisa saya temukan mengapa buku "Ini Budi" itu begitu melekat dalam ingatan siswa/siswi generasi 80-90-an, di antaranya:

1. Simpel, sederhana tapi powerful

Bila kita lihat, dalam satu halaman buku "Ini Budi" hanya terdiri dari 1 sampai 5 kalimat saja, dan itu pun diberi spasi dengan ukuran font yang lebih besar dengan cetakan tebal. Disajikan secara berjenjang mulai dari kalimat dua suku kata sampai dengan yang lebih kompleks. Format tulisan dalam lebaran halaman yang besar, spasi dan tebal inilah, yang menurut saya, lebih mengena, dan ramah terhadap perkembangan penglihatan siswa selain juga ramah terhadap perkembangan otak khususnya area linguistik spasial.

Selain juga buku ini Budi menyajikan Ilustrasi berupa gambar untuk membantu anak-anak (siswa) memperoleh makna dari sajian kata dan kalimat dalam setiap halamannya.

Mari sejenak kita bandingkan dua buku bahasa Indonesia seperti pada gambar berikut:

Gambar 1, halaman 3 dari buku "Ini Budi"

Gambar 2, Pelajaran awal Buku Kelas I SD sekarang

2. Tujuannya jelas: literasi

Jika kita telisik lebih jauh, buku "Ini Budi" hanya berkonsentrasi pada satu aspek saja; yaitu kemahiran literasi. Artinya, untuk tiap satu level buku memiliki fungsi masing-masing seperti pengenalan bunyi, struktur kata yang sederhana sampai level tertentu, dan cerita yang berkaitan antara satu halaman dengan halaman yang lainnya.  

3. Disusun berdasarkan kaidah-kaidah pembelajaran

Siap sangka bahwa penyusunan buku "Ini Budi" didasarkan pada teori pembelajaran bahasa, Struktur Analitik Sintetik (SAS). Kaidah-kaidah SAS memang ditujukan dalam pembelajaran bahasa di tingkat pemula, yaitu dimulai dengan struktur kalimat, dari yang mudah sampai kompleksitas yang lebih tinggi, semata-mata ditujukan untuk membangun konsep-konsep kebermaknaan (dari apa yang dipelajari) bagi siswa-siswi yang menggunakan buku tersebut. Konsep kebermaknaan ini di-follow up melalui pengenalan konsep kata, atau kata untuk merefleksikan "makna". Jadi kita bisa melihat mengapa kata-kata, pemisahan suku kata, kalimat benar-benar disajikan secara hati-hati dalam buku "Ini Budi" tersebut. Indah bukan?

Lalu, kembali kita bandingkan dengan buku pada gambar 2 di atas, kira-kira kaidah pembelajaran bahasa apa yang dipakai penulis? Atau hanya mengejar jumlah wacana dan indikator pembelajaran semata-mata agar buku terlihat "tebal" dan "berkualitas"?

4. Satu Model dan Berkesinambungan

Jika kita baca secara teliti, maka kita akan menemukan pemodelan satu keluarga, yaitu keluarga Budi. Terlepas apakah keluarga ini fiktif atau benar-benar ada, kita dapat dengan mudah mengikuti aktivitas keseharian keluarga Budi dengan cerita yang saling berkaitan, berkesinambungan dan berjenjang. Tiap seri buku "Ini Budi" memiliki karakteristik yang khas dan tentunya fungsi dan target pembelajaran masing-masing. Misalnya, bila buku kelas 1 dan 2 masih seputar kata-kata dan kalimat, maka mulai kelas 4 dan 5 siswa disajikan wacana yang lebih kompleks, sesuai dengan perkembangan kemampuan linguistiknya.

5. Karakter sosial

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemodelan keluarga Budi sebenarnya mengusung pendidikan karakter. Mulai dari pendidikan keluarga dinamis, hubungan antaranggota keluarga yang harmonis serta kehidupan sehari-hari yang "dekat" dengan situasi pembaca (murid-murid -red). Hal inilah yang kemudian menjadikan nilai-nilai dan pesan-pesan "kebaikan" dalam buku "Ini Budi" mudah diinternalisasi. Bukan sekedar nilai-nilai kognitif saja, tetapi juga nilai sosial sebagai bagian pendidikan karakter. 

Demikianlah 5 hal yang bisa saya temui dan menjadi alasan mengapa buku "Ini Budi" itu begitu dahsyat. 

Semoga bermanfaat.

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun