Mohon tunggu...
Herri Mulyono
Herri Mulyono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Perguruan Tinggi Swasta Jakarta

Bercita-cita menjadi pribadi sejati yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Website: http://www.pojokbahasa.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Artis, Guru dan Ironi Pendidikan Karakter

11 Desember 2015   08:09 Diperbarui: 11 Desember 2015   11:11 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber gambar: photosugar.com/t/pritalaura"][/caption]

"Guru dibayar murah dituntut untuk memperbaiki karakter anak-anak kita, sedangkan artis sinetron dibayar mahal untuk merusak akhlak anak-anak kita." 

Kutipan diatas saya ambil dari screenshot yang seringkali beredar di lini media sosial. Kita sudah sangat maklum (?) tentang mutu tanyangan sinetron-sinetron dan program TV kita, yang bukan hanya "menjual mimpi" seperti dikatakan oleh Ibu Megawati beberapa tahun silam, tetapi juga benar-benar merusak karakter-karakter anak-anak kita dengan segala sajian yang tidak mendidik. Kita dapat melihat bagaimana tanyangan-tanyangan sinetron mengajarkan kekerasan, kehidupan glamor, perilaku seksual dan lain-lainnya. 

Sayangnya, seolah teguran KPI terhadap sinetron-sinetron dan beberapa program hiburan di TV tidak mendidik tersebut tidak berdampak apa-apa. Sinetron dan tanyangan-tayangan tersebut masih saja tampil dilayar TV, tentunya dengan embel-embel telah dilakukan perbaikan. Ya karena memang, rating TV menjadi alasan kuat kehadiran tayangan-tayangan TV tidak mendidik tersebut.

Kita pun dibuat malu, ternyata, dibalik gencar-gencarnya kritik terhadap tayangan TV, sebagian banyak dari kita merupakan 'pendukung' (penikmat) setia tayangan tersebut. Hal ini tentunya dibuktikan oleh tingginya rating acara tersebut (walau kita sendiri tidak pernah mendapatkan informasi tentang rating TV itu seperti apa, bagaimana dilakukan dll). Akhirnya jelaslah mengapa KPI seolah kurang 'bertaring' terhadap tayangan TV tersebut.

Hal yang cukup ironi ternyata datang dari komunitas pendidikan di sekolah. Seperti pada kutipan diatas, guru dan komunitas pendidikan disekolah yang notabene pro-kemajuan dan terdidik diharapkan menjadi benteng utama dari arus tayangan-tayangan TV yang tidak mendidik. Namun, kondisi yang diharapkan pun tidak terjadi. Kita sangat miris ketika kemudian di sekolah pun beberapa tayangan-tayangan sinetron dan acara hiburan tidak mendidik tampil di ruang guru, ruang perpustakan, ruang TU dari TV-TV yang tertempel didinding itu. Miris sekali. 

Bahkan, yang sangat benteng pertahanan terhadap acara tak mendidik yang kerap tampil di TV pun seolah-oleh luluh lantah. Entah berapa kali saya menjadi saksi bisu bagaimana even-even joged-joged tak berkelas yang tampil di TV hadir di halaman sekolah. Terlihat jelas, bagaimana sang artis berjoged ria dengan siswa-siswi, dan tidak jarang juga dengan bapak ibu guru.

Tidak ada yang salah dengan menari, bernyanyi ataupun bentuk hiburan lainnya. Namun, sungguh sangat ironi bila artis-artis yang 'merusak moral' anak-anak bangsa bermesra ria dengan guru-guru dan siswa yang notabene para pejuang pendidikan. Apalagi kemudian mereka dengan bangga meng-upload foto-foto selfie dengan sang artis 'perusak moral' itu di media sosial.

Seharusnya, komitmen untuk mewujudkan tanyangan yang sehat, menghibur dan mendidik harus di tegakkan, dan selayaknya juga artis-artis yang tidak berkomitmen untuk mewujudkan  tayangan sehat, menghibur dan mendidik mendapatkan hukuman moral: tolak kehadiran mereka. Bukan diterima dengan 'antusias' di halaman dan ruang-ruang kelas, dan bukan pula menerima ajakan mereka untuk datang menjadi penggembira di stasiun TV demi nasi bungkus dan iming-iming sejumlah uang.

Bila guru dan siswa tidak juga menolak kehadiran acara-acara serta artis-artis yang dinilai telah merusak akhlak anak-anak kita, sungguh ironi pendidikan karakter kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun