Mohon tunggu...
Herri Permana
Herri Permana Mohon Tunggu... Relawan - Ketua Yayasan Samiyah Amal Insani

Aktivis sosial bertempat tinggal di Bandung , mengasuh lebih 40 anak yatim , dhuafa dan terlantar. Aktif di beberapa organisasi dan komunitas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Poligami dalam Pandangan Buya Hamka

29 November 2022   21:36 Diperbarui: 29 November 2022   22:05 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buya Hamka lahir di Sungai Batang, Maninjau, Provinsi Sumatra Barat, pada hari Minggu petang yang bertepatan dengan malam hari Senin, tanggal 16 Februari 1908. Dia mempunyai nama lain saat kecil dengan sebutan Abdul Malik dari empat bersaudara. Ayahnya adalah seorang ulama yang bernama Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. 

Ayahnya sengaja memberinya nama Abdul Malik tujuannya untuk mengenang anak dari seorang guru ulama besarasal Nusantara, Syekh Ahmad Khathib Al-Minangkawabi di Makkah.

Ayah Hamka menikah dengan Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana merupakan kakak Safiyah yang meninggal dunia di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri bernama Fatimah yang kelak menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur.

Buya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia yang berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam dunia politik melalui Organisasi Islam Masyumi hingga partai tersebut dibubarkan. Menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dan aktif dalam Muhammadiyah sampai akhir hayatnya.

Buya Hamka bergelar Doktor setelah lulus dari Universitas Al- Azhar dan Universitas Nasional Malaysia. Ia juga kukuh sebagi guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta. Remaja Hamka sering melakukan perjalanan jauh sendirian dengan meninggalkan pendidikannya di Thawalib dan menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun. Setelah setahun melewati perantauan, Hamka kembali ke Padang Panjang dan membesarkan Muhammadiyah.

Hamka berprofesi menjadi aktivis dakwah hingga jurnalis. Tercatat, dirinya pernah menjadi wartawan dari berbagai surat kabar seperti, Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Panji Masyarakat. Dalam dunia kepengarangan, Hamka terkadang juga menggunakan nama samaran, yaitu A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki.

Soal ini disebutkan pada laman Badan Bahasa Kemdikbud. Sebagai seorang yang berpikir maju, Hamka produktif dalam menyampaikan ide-ide yang cemerlang melalui ceramah, pidato, dan berbagai macam karya dalam bentuk tulisan. Beliau telah menghasilkan sebanyak 85 karya tulis. 

Putra Hamka yang bernama Rusyi menyebutkan bahwa keseluruhan karya Hamka sebanyak 118 jilid tulisan sudah dibukukan. Ini masih ada yang belum terkumpul dan dibukukan, tercatat dalam 'Pribadi dan Martabat Buya Hamka' ,tahun 1983.

Buya Hamka Tentang Poligami

Dalam wacana seputar poligami, Buya Hamka adalah salah satu tokoh Indonesia yang sepanjang hidupnya, tidak pernah berpoligami, tercatat beliau menikah lagi beberapa tahun kemudian setelah istrinya berpulang. Hal ini ia lakukan setelah berdiskusi dengan seluruh anak-anaknya. Atas pertimbangan Buya Hamka sudah mulai berumur dan seluruh anak-anaknya sudah berkeluarga, akhirnya Buya Hamka menikah lagi dengan Siti Khadijah, perempuan yang menemaninya hingga akhir hayat sang Sufi.

Satu lagi yang menarik dari Buya Hamka adalah di semasa hidupnya sebenarnya ia beberapa kali ditawarkan untuk melakukan poligami oleh sang Ayah, namun dengan halus ia menolak. Apa yang dilakukan Hamka semata karena ia menarik pelajaran dari apa yang dialami orang tuanya, khususnya ibu kandungnya akibat perceraian.

 

Pandangan Hamka Tentang Poligami

Beberapa pandangan Buya Hamka mengenai poligami antara lain :

Seorang laki-laki yang menikahi perempuan yatim yang berada di bawah pengasuhannya. Hal ini dimaksudkan,dia bisa saja tergoda untuk menguasai harta anak yatim dengan cara yang tidak sah, sebab sudah menjadi istrinya. Kalaupun tidak mengambil hartanya, setidaknya sangat mungkin dilakukan untuk membayar mas nikah secara jujur dan adil. Untuk menghindari hal-hal tersebut, lebih baik laki-laki menikahi perempuan lain walaupun sampai dengan empat perempuan.

Dalam pandangan Buya Hamka, sekalipun beristri lebih dari satu diizinkan dengan syarat yang amat ketat. Akan tetapi, beristri satu posisinya lebih terpuji. Menurut beliau, sewenang-wenang artinya bertindak menurut kehendak sendiri, tidak peduli lagi, masa bodoh. Ini lebih celaka, jika kondisi ekonomi tidak memadai dan jumlah anak dari tiap istri banyak jumlahnya.

  • Yang patut digarisbawahi, meski Buya Hamka menganjurkan lebih baik beristri satu. Beliau tidak sampai mengharamkan poligami. Keadilan yang dituntut pada surat An- Nisa' ayat 129, menurut beliau tidak berlaku untuk semua hal, terdapat perkecualian pada masalah hati. Sebab, memang tidak ada yang bisa memaksa hati setiap manusia. Berbeda dengan keadilan dalam nafkah rumah tangga dan pergiliran di malam hari.

Lahirnya pandangan Buya Hamka soal poligami yaitu adanya perspektif Hamka yang terkait masalah poligami, antara lain :

  • Agaknya pandangan ini lahir dari pengalaman pribadi Hamka semasa kecil. Saat sang Ayah akan menikah lagi, yang diceraikan adalah ibunda Buya Hamka. Padahal, sebelumnya tidak pernah ada konflik besar di antara ayah dan ibu Hamka. Hal ini ditegaskan kembali dengan nasehat dari kakak ipar Buya AR. Sutan Mansur berkata, "Jika Anda memiliki cita-cita yang tinggi cukuplah beristri satu. Karena waktumu nanti akan tersita untuk berlaku adil di antara istri dan anak-anakmu."

Kalau poligami diharamkan oleh Rasulullah, tentunya sahabat seperti Ghailan ibn Umayyah dan Harits ibn Qais sudah sudah dilarang beristri lebih dari satu ketika itu.

Dari pemikiran Buya Hamka tentang poligami diatas, terdapat beberapa alasan mengapa Buya Hamka tidak ingin melakukan poligami, yaitu :

Adanya Latar Belakang dari Keluarga

  • Bisa dibilang, ada trauma masa lalu. Ayah Hamka, Haji Rasul, diketahui mempunyai empat istri. Diantaranya adalah Shafiyah yang merupakan ibu kandung dari Buya Hamka. Ketika Haji Rasul ingin menikah lagi, sementara Islam membatasi laki-laki maksimal beristri empat, satu di antara empat istri tersebut harus diceraikan. Tidak tahu dengan pertimbangan apa, Haji Rasul memilih menceraikan Shafiyah.
  • Prioritas Pada Ilmu
  • Buya Hamka memiliki prioritas pada ilmu. Dalam suatu kesempatan, A.R. Sutan Mansur menyampaikan kepada beliau bahwa beristri satu adalah salah satu cara untuk bisa menggapai cita-cita yang tinggi. Alasannya, waktu untuk mengurus keluarga (berlaku adil untuk dua istri/ lebih dan anak) akan menyita waktu belajar dan berkarir.

Dari beberapa alasan tersebut, apakah Buya Hamka melarang seorang muslim untuk berpoligami? 

Dari tafsiran para musafir, poligami itu diperbolehkan. Para musafir berbeda pendapat tentang kebolehan poligami. Perbedaan tersebut, berangkat dari tafsir atas makna"keadilan" yang dimaksud dalam QS. An- Nisa" (4) : 3, 129, berisi syarat perempuan yang boleh dipoligami. Jadi, Buya Hamka yang tidak poligami tetap membolehkan poligami sebagaimana Islam membolehkannya sesuai syariat.

Nah, itulah penjelasan tentang pandangan Pandawa Hamka tentang hukum poligami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun