Pengantar
Bukan rahasia lagi bagi masyarakat adat Nusantara bahwa salah satu produk kerajinan rumahan yakni tenun. Beragam pendekatan digunakan untuk menghasilkan produk tenun, di antaranya dengan sotis, futus, dan tenun.Â
Perlengkapan tenun pun ada yang masih tradisional dan sudah ada alat tenun yang semi modern yang memungkinkan produktivitas dalam jumlah besar, sambil mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas hasil tenun.
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam wilayah Kota Kupang terdapat sejumlah lokasi menenun. Kelompok para pengrajin tenun menyebut tempat mereka dengan sebutan Kampung Tenun.Â
Di pedesaan kelompok sejenis hidup tak mau mati enggan, ngap-ngap saja, namun tetap ada saja produk tenunan.Â
Saya hendak memastikan bahwa para kandidat kepala daerah sudah mencantumkan salah satu program strategis ini, menenun. Mengapa? Jawabannya sederhana, menenun bukan sekadar industri rumahan yang dikelola orang perorangan, namun dapat dikembangkan dalam bentuk kelompok dengan pembinaan dan pendampingan yang intens, sampai memuncak pada pameran dan penjualan, demonstrasi menenun sebagai ajang pariwisata.
Dampak Menenun sebagai Kerajinan Tangan RumahanÂ
Provinsi Nusa Tenggara Timur selalu ada dalam singkatan NTT. Singkatan NTT sendiri sering dibuatkan kepanjangan yang variatif, ada yang memplesetkan dan ada pula yang membanggakan. Misalnya, Nusa Tolerensi Terbaik, Nusa Tenun Tais, dan lain-lain.
Banyaknya pulau di provnsi NTT dengan suku dan sub suku di dalamnya merupakan kekayaan yang khas. Kekayaan yang khas itu antara lain produk tenun dengan pendekatan pewarnaan dan motif yang berbeda. Ini semua memberi nuansa entitas yang beragam pada masyarakatnya.
Masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya kaum perempuan di pedesaan memiliki ketrampilan tenun yang menjadikan mereka sebagai pengrajin. Maka pada tahun 2018 diadakan Festival Tenun di Sumba. Festival ini menarik perhatian Presiden Joko Widodo dan ibu negara Iriana Joko Widodo untuk turut menyaksikannya. Hal ini berlanjut paada 2019.