Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Multibahasa pada Forum Penyuluhan Perlindungan Anak dalam Perspektif Kebudayaan Masyarakat adat Pah Amarasi

10 September 2024   13:24 Diperbarui: 10 September 2024   13:25 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana panel diskusi dan sesi akhir; foto&kolase: dokpri Roni Bani 

Pemateri pun ketika memberi jawaban, diksi yang digunakan mix bahasa: Indonesia, Melayu Kupang dan Amarasi. 

Semua ini memberi gambaran bahwa bahasa yang digunakan akan segera mencairkan suasana sehingga nuansa formaitas menjadi informal sehingga memudahkan komunikasi. Ketegangan dan adu adrenalin, mau bicara atau tidak bicara, diam dan ketika pulang membawa kesal di hati, atau sempat berbicara sebagai respon pada materi sajian mendapat respon balik yang memberi pencerahan atau justru mengecewakan.

Salah satu materi disampaikan oleh penulis artikel ini. Berikut disajikan di sini.


Anak dalam Kebudayaan Masyarakat Adat Pah Amarasi

Pengantar

Ketika mendapatkan kabar yang diikuti dengan surat resmi dari Pemerintah desa Oebesi Kecamatan Amarasi Timur mengenai Penyuluhan Perlindungan Anak dalam Masyarakat, saya menyambut dengan rasa syukur. Rasa syukur ini terjadi karena pada zaman digitalisasi ini, produk kebudayaan yang satu itu telah menggeser secara perlahan dalam kepastian kebudayaan lokal. Di antaranya posisi anak di dalam keluarga.

Anak dalam keluarga masyarakat pedesaan dipastikan secara perlahan pula akan mengikuti pola apa yang diketahuinya dari pengaruh dunia informasi yang singkat tanpa filter edukasi dan apalagi filter kultur (budaya).

Sementara itu para orang tua di pedesaan yang lahir sebelum tahun 1960-an pada hari-hari ini makin berumur. Pada situasi itu mereka ada suasana hati gamang, antara mengikuti pola berbudaya dalam masa hidup mereka atau pola baru yang sedang trending.

Di antara dua sisi itu mereka mesti dapat berdiri dalam penyesuaian diri untuk melindungi anak-anak mereka. Maka, tepatlah kiranya acara ini dibuat untuk memberi sekadar pengetahuan tentang pendekatan budaya dalam kerangka perlindungan anak baik pada masa lampau, kini dan masa depan.

Anak dalam Kebudayaan Masyarakat Adat Pah Amarasi

Anak dalam setiap keluarga masyarakat adat Pah Amarasi merupakan harapan. Setiap pasangan suami-isteri akan selalu mengharapkan adanya anak dari hasil perkawinan (baik sah maupun nanti baru akan disahkan).

Maka, ketika orang mulai mengurus perkawinan, langkah pertama yang dilakukan oleh para tetua pemangku kepentingan yakni mengupacarakan pasangan suami-isteri baru. Upacara itu beragam namanya.

  • Mapua’ (puah-manus)
  • Heket, dan mungkin saja masih ada sebutan menurut versi masyarakat desa masing-masing.

Dalam upacara yang demikian itu sepasang suami-isteri baru akan memberi jawaban atas sejumlah pertanyaan yang diajukan para tetua. Satu pertanyaan mendasar yakni, apa alasan berhimpunnya para pemangku keepentingan di dalam satu waktu dan satu tempat? Jawabannya pun mendasar, yakni hendak membentuk rumah tangga baru.

Dalam hal bertanya, dan memberi jawaban menggunakan bahasa lokal, istilah rumah tangga baru disebutkan secara metafor, umi. Pasangan suami-isteri tidak menyebutkannya secara lengkap. Lengkapnya, umi – mone’ atau umi – ropo. 

Umi melambangkan perempuan, dan mone’/ropo melambangkan laki-laki. Umi-mone’ atau umi-ropo akan berdampak pada apa yang disebut:

  • Bifee – ri’ana’
  • Anah-upuf
  • Sufa’ – ka’uf

 Sekarang mari saya ajak untuk melihat, bagaimana perlindungan anak dalam kebudayaan masyarakat adat Pah Amarasi?

 Umi dan Mone’/Ropo bermakna Konstruksi dan fungsional/sosiologis. Mengapa?

 Makna Konstruksi sebagai wadah Perlindungan Keluarga

Secara konstruksi, Umi/Mone’/Ropo terlihat berbeda.

 Pada zaman modern ini, masyarakat adat Pah Amarasi, tidak memiliki konstruksi umi-ropo secara faktual. Masyarakat adat Pah Amarasi hanya mengenal:

  • Umi ‘hana’
  • Umi tnana’ (bila diperlukan
  • Uim ko’u

 Ini terjadi karena sikap permisifnya masyarakat adat Pah Amarasi yang membuka diri (tidak mengisolir diri). Masyarakat adat Pah Amarasi secara mudah menerima budaya luar, termasuk perubahan konstruksi rumah.

Masyarakat adat Pah Amarasi meninggalkan umi – ropo yang konstruktif, menggantikannya dengan uim hanin, uim tokob, dan uim rame’. Dalam sebutan-sebutan itu, keluarga berlindung di dalamnya.

Keluarga itu terdiri dari: ayah, ibu, dan anak-anak serta anggota keluarga lainnya.

Di dalam umi ‘hana’ tempat di mana ibu/mama menyiapkan makanan. Di sana ada lumbung yang disebut po’of (porata’). Po’of/porata’ dan se’it sebagai wadah berdaulatnya keluarga itu pada ketersediaan pangan.

Uim ko’u diperlukan untuk menerima tamu; dan simbol “kesuksesan”. Di dalamnya terbagi atas kamar untuk suami-isteri, anak dan ruang tamu. Di dalam uim ko’u keluarga berlindung dari terik, dingin dan ancaman lainnya.

Persediaan makanan yang ada di sana, dimaksudkan untuk menghidupi keluarga, terutama anak-anak.

Secara konstruksi, rumah-rumah sebagaimana sebutan-sebutan itu menjadi tempat yang aman untuk perlindungan. Hujan, angin, dan panas, termasuk berlindung dari ancaman penyakit tertentu yang disebarkan oleh cuaca dan atau perubahan iklim.

Makna Fungsional/Sosiologis

Secara fungsional/sosiologis, umi-mone’/ropo yang melambangkan pasangan laki-laki dan perempuan (suami-isteri, ayah-ibu). Dalam hal perlindungan terhadap anak, pertama-tama tempat berlindung yang aman yakni mone’/ropo. Mengapa? Karena di sana seorang ayah/bapak akan berdiri paling depan untuk melindungi anak (anak-anak)nya.

Mone/mone’/ropo memiliki cakrawala pengetahuan dan kebijaksanaan yang luas. Ia memiliki kemampuan mengambil keputusan yang tepat dan bijaksana untuk memberikan perlindungan pada bifee-ri’ana. 

Bila ancaman makin keras, misalnya: penyakit mendera, terjadi kelaparan maka, seorang ayah akan bertindak lain dengan menyerahkan sebahagian tugasnya kepada umi (kbubu’) agar menjaga dan memberikan perlindungan, sementara ayah/bapak “keluar” mengarah ke mone’ yang luas untuk menemukan cara penanganan yang tepat.

Penutup

Demikian yang dapat saya bawakan dalam acara hari ini. Kita sungguh berharap bahwa perlindungan anak bukan saja terjadi oleh karena tuntutan peraturan zaman ini, tetapi sudah menjadi kewajiban orang tua dan lingkungan sekitarnya untuk melindungi anak-anak.

Perlindungan pada anak bersifat fisik dan non fisik

  • Memenuhi kebutuhan primer (makanan, pakaian)
  • Kasih sayang, pujian, pembelaan

Terima kasih.


Beberapa pertanyaan diajukan 5 orang peserta, selanjutnya direspon balik oleh para pemateri mengenai:

  • Minuman beralkohol yang ditenggak anggota masyarakat 
  • Kekerasan seksual
  • Anak dan statusnya dalam keluarga
  • Anak dalam pasutri yang berantakan (broken home)
  • Mendapatkan anak yang sehat dan berkarakter/berakhlak mulia

Semua pertanyaan dan komentar para peserta mendapat respon balik dari pemateri dari perspektif agama, kesehatan, hukum dan kebudayaan masyarakat adat lokal (Pah Amarasi).

Demikian catatan dari Panel Diskusi yang diselenggarakan oleh Pemerintah desa Oebesi Kecamatan Amarasi Timur Kabupaten Kupang.

Umi Nii Baki-Koro'oto, 10 September 2024

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun