Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gratiskah Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini?

16 Juli 2024   13:20 Diperbarui: 16 Juli 2024   23:02 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:https://id.pngtree.com/

Pengantar

Dunia pendidikan di Indonesia terus menggeliatkan penyelenggaraannya dari satu periode pemerintahan ke periode pemerintahan berikutnya dengan menggunakan tagline tertentu yang rasanya hendak menaikkan kualitas dan gengsi. Suntikan motivasi terbaik yang disuarakan dari dalam ruang-ruang sidang hingga keluar ke ruang publik yakni: adanya anggaran sebesar 20% yang tersurat di dalam konstitusi perubahan, yang diikuti dengan jargon gratis, penyelenggaraan pendidikan tanpa pungutan anggaran.  

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau Bantuan Operasioan Satuan Pendidikan (BOSP) telah digelontorkan pada beberapa tahun terakhir dengan segala keribetannya ketika tiba di tangan para penyelenggara/pengguna anggaran di sekolah.

Ketika Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan Program Merdeka Belajar/Mengajar dengan sejumlah hal yang menggunakan istilah merdeka, maka  di sana ada jargon pendidikan gratis pula. Benarkah?

Gratiskah Guru dalam Program Merdeka Mengajar?

Siapakah yang tidak menyukai suatu pemberian yang diterimakan secara cuma-cuma alias gratis? Berbondong-bondonglah orang untuk menerima sesuatu yang diberikan secara gratis. Tengoklah ketika Pemerintah memberikan bantuan beras miskin (raskin). 

Orang akan berbondong-bondong ke kantor Pemerintah desa/kelurahan untuk mengambilnya walau harus berkorban: emosi, waktu, dan tenaga ketika berdesak-desakan. Tengoklah pemberian uang melalui Program Indonesia Pintar (PIP). Berbondong-bondonglah para orang tua menuju tempat penarikan uang yang nilainya tidak seberapa besarnya, namun dianggap telah membantu mendongkrak ekonomi keluarga. 

Padahal, untuk mencapai tempat pengambilan terdekat, mereka akan menggunakan pikap atau ojek. Lalu, ketika mereka berada di sana, antrian yang panjang dan melelahkan raga dan rasa. Lapar, haus, dan ongkos transport semua ini berdampak pembiayaan/pembelanjaan.

Ketika pemerintah menyebut, biaya pembuatan semua dokumen kependudukan tanpa pungutan, apakah semuanya itu gratis? Bagaimana mungkin pemberian yang cuma-cuma itu tanpa pengorbanan? Bahkan, para pengerat dari dalam institusi itu justru memanfaatkan situasi itu untuk mengeruk keuntungan. Kaki-tangan mereka pasang di luar institusi itu, lalu komunikasi dibangun. Berbekal nama dan pesan WhatsApp anggota masyarakat yang membutuhkan dokumen kependudukan tiba di sana, dan proses itu pun dimudahkan. Hal ini sudah menjadi rahasia umum.

Masih banyak lagi kemudahan atas nama cuma-cuma, tanpa biaya/uang, tanpa pungutan, namun faktanya orang harus berkorban untuk mendapatkan apa yang diperlukan itu. Hal yang harus dikorbankan yakni perasaan (emosi), waktu, tenaga dan tentu saja uang. Hal-hal yang demikian tentulah tidak gratis.

Dunia pendidikan pun makin banyak program yang "gratis" setelah era pandemi covid-19. Seminar-seminar tatap muka digeser menjadi webinar. Dunia digitalisasi makin memudahkan agar para guru mudah mengikuti seminar, mudah memperoleh sertifikat dan mudah pula mengurus angka kredit demi kenaikan pangkat dan jabatan fungsional guru.

Flyer webinar setiap harinya disebarluaskan melalui grup-grup WhatsApp. Semua flyer yang disebarluaskan untuk mengundang peserta webinar dipastikan akan disertakan dengan pernyataan, gratis. Benar! Webinar zaman ini dipastikan tanpa pungutan sepeser pun. Lalu, apakah para guru yang mengikuti webinar itu tanpa anggaran untuk menghadirinya?

Webinar pendidikan yang diikuti para guru dari tempat duduknya di ruang kelas atau ruang guru, dipastikan tanpa pungutan. Guru tinggal klik lalu muncul layar webinar, wajah terlihat, suara terdengar, dan selanjutnya mengikuti paparan narasumber disertai tanya jawab. Pada sesi lain, akan disebarkan daftar hadir yang wajib diisi bila ingin mendapatkan sertifikat webinar itu. Mungkinkah semuanya gratis?

Tidak! Sekali lagi tidak!

Guru mana pun dipastikan mesti mengeluarkan sejumlah uang untuk membiayai webinar. Bukankah menghubungkan laptop atau handphone android dengan jaringan internet dibutuhkan biaya? Tidak ada provider yang menyediakan jasa jaringan internet secara gratis. Semuanya berbayar sesedikit apapun itu, itulah pembiayaan. Jadi, tentulah webinar itu tidak gratis.

Pada daerah-daerah yang tidak/belum terjangkau jaringan internet, bukankah para guru harus meninggalkan rumah atau sekolah untuk menemukan titik tempat adanya jaringan internet? Mereka perlu mengeluarkan biaya. Biaya transportasi, pulsa/paket data, dan konsumsi. Penyelenggara webinar tentu saja tidak memungut anggaran belanja dari para peserta, namun peserta mesti "berkorban" untuk maksud menghadiri webinar.

Bagaimana dengan Platform Merdeka Mengajar?

Platforma Merdeka Mengajar dan sejumlah item di dalamnya, tentulah gratis disediakan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Mari membayangkan bahwa di sana ada webinar, belajar/diklat mandiri, dan lain-lain. Semua materi yang disediakan di sana ditempat pada Platform YouTube. Selanjutnya para guru mesti mengakses internet dengan menggunakan mesin pencari, Google, dan sejenisnya. Tidakkah YouTube dan Google "menyerap" uang dari konsumennya?

YouTube dan Google sebagai penyedia jasa yang memanfaatkan gelombang elektromagnetik yang telah direkayasa dalam teknologi informasi, dipastikan memberikan "balas jasa" kepada penggunanya. Balas jasa dapat dipastikan berupa mengisi pundi-pundi.  

Jika demikian, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi patutlah diasumsikan telah menjadi jembatan penyeberangan aliran uang dari para guru yang mengakses Platform Merdeka Mengajar, baik untuk diklat mandiri, pengelolaan kinerja, dan lain-lain kepentingannya. Maka, dapatlah disimpulkan bahwa tidak ada yang gratis di zaman digitalisasi ini.

Penutup

Bila hidup dalam zaman digitalisasi dengan jargon kemudahan dan banyak hal yang didapatkan secara cuma-cuma alias gratis, maka tentulah kita perlu menimbang lagi. Gratiskah?

Mungkinkah yang gratisan itu akan memberi dampak lebih baik dalam dunia belajar-mengajar di sekolah? Semoga.

Nekmese, Kab. Kupang, 16 Juli 2024

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun