Kedua kata di atas berasal dari kata, anah artinya anak dan nane ~ naen artinya lari. Jadi secara harfiah aanh nanef ~ aanh naenef artinya, anak lari; anak yang dilarikan. Maksudnya, seorang gadis/perempuan muda yang telah dipilih dan dinikahi, akan "dibawa lari" ke rumah orang tua suaminya baik sekampung maupun antarkampung dan seterusnya. Ia "dilarikan" bukan oleh suaminya, tetapi oleh keluarga suaminya.
Kata "dilarikan" mendapat tanda petik berhubung, hal ini bukan suatu hal yang harus dipermasalahkan, tetapi, begitulah yang terjadi dalam mengurus pernikahan/perkawinan.Â
Seseorang gadis/perempuan muda yang telah dipilih/terpilih menjadi calon isteri/isteri sah dari seorang lelaki muda/pemuda, sang perempuan tidak secara mudah dibawa keluar dari rumah orang tuanya. Orang tua dan keluarga gadis itu akan berunding terlebih dahulu. Hasil perundingan disampaikan kepada pihak keluarga calon suami dengan permeminta agar  mereka membukatikan adanya kesungguh-sungguhan untuk membawa perempuan muda/gadis itu. Pembuktian kesungguh-sungguhan itu melalui upacara perkawinan/pernikahan.
Upacara perkawinan/pernikahan akan mengikuti tata hukum adat perkawinan dari pihak keluarga gadis.Â
Tidak mengherankan bila dalam mengurus suatu perkawinan/pernikahan sepasang kekasih, sangat sering terjadi "ketimpangan". Ketimpangan-ketimpangan itu sebagai akibat dari "tabrakan" budaya (hukum adat perkawinan). Dalam hal yang demikian, kesungguhan pihak keluarga laki-laki bagai sedang menghadapi "ujian".
"Ujian" dalam mengurus perkawinan/pernikahan itu akan berakhir manakala seluruh item hukum adat perkawinan, hukum agama dan hukum positif/UU Perkawinan terpenuhi. Sorak gempita terjadi di dua tempat: di rumah pengantin perempuan dan di rumah pengantin laki-laki sehari atau beberapa hari sesudahnya.
Ketika menyelesaikan "sorak" gempita dalam pesta perkawinan/pernikahan di rumah pengantin perempuan, maka selanjutnya akan diadakan penyerahan pengantin perempuan (anak perempuan/perempuan muda/gadis) kepada pihak keluarga laki-laki. Penyerahan itu diikuti dengan upacara tertentu menurut hukum adat perkawinan. Pada titik waktu yang demikian, pengantin "dilarikan (na'aenab ~na'aeneb)" oleh pihak keluarga laki-laki ke dalam komunitas mereka.Â
Dalam peristiwa pengantin "dilarikan"  ada muncul istilah "lari baroit" (aenab baroit~ aeneb baroit). Anak gadis/perempuan muda sebagai pengantin akan disebut,bifee noni  (Kotos) ~ bifee noini  (Roi'is). Ketika masuk ke rumah baru, orang tua baru yang akan menerimanya, menjadikannya anak, dengan sebutan aanh nanef  (Kotos) dan aanh naenef (Roi'is), yang artinya, anak (perempuan yang dilarikan);  menantu.Â
Dari uraian ini kiranya dapat dipahami bahwa seorang menantu perempuan belum dapat segera menyesuaikan diri dengan keluaraga baru. Oleh sebab itu, akan lebih baik baginya untuk mempunyai rumah sendiri. Ia harus hidup dengan suaminya sendiri, mengatur rumah tangganya sendiri. Ia tidak diperkenankan hidup serumah dengan mertua (ain babaf/aam babaf ~ iin baban, aam baban).Â
Ia akan menyesuaikan diri secara perlahan.
Dalam masa penyesuaian yang lama, akan sering terjadi "ketidaknyamanan" hubungan mertua - menantu.Â