Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Doa Hana Doa Kaum Margin Terjepit

12 Mei 2024   15:53 Diperbarui: 12 Mei 2024   16:24 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pdt Mery Lomi Ga menerima buku sebagai tanda kenangan; foto: dokpri, Roni Bani


Pengantar

Dalam bulan Budaya setiap Mei tahun berjalan yang tetapkan oleh Gereja Masehi Injili di Timor, pada Mei 2024 ini salah satu materi khotbah terpilih dari Kitab 1 Semuel 1:9-20.  Tema yang disodorkan Majelis Sinode GMIT yakni: tekun berdoa. Satu tema yang terasa biasa-biasa saja, kurang menggigit untuk dibahas, namun tentu menarik untuk ditelusuri dalam konteks kekinian, sambil melihat lokus di mana orang menyampaikan khotbah agar sungguh-sungguh sampai ke hati pendengarnya.

Minggu ini, (12/5/24) Tuhan mengizinkan agar saya boleh menyampaikan khotbah pada salah satu jemaat lokal GMIT dalam wilayah Klasis Amarasi Timur. Jarak tempuh ke lokus itu menurut gugel maps, 22 km yang dapat ditempuh kurang dari satu jam ketika berangkat dari tempat di mana saya berdomisili.

Hari Minggu ini saya mengajak murid-murid Sekolah Dasar tempat di mana saya mengajar. Kami membagi tugas dalam tata ibadah yang semuanya disusun dalam Bahasa Amarasi, bahasa daerah kami.

Dok: Kreasi Litmuger Jemaat Koro'oto
Dok: Kreasi Litmuger Jemaat Koro'oto

Ulasan Teks Alkitab 1 Semuel 1:9-20

Baca juga: Doa Seorang Abdi

Membaca bagian alkitab ini, baiknya dimulai dari 1 Semuel 1 : 1 dan seterusnya agar ada pengetahuan latar belakang hingga munculnya doa seorang ibu, isteri seorang bapak bernama Elkana, keturunan Efraim. Elkana mempunyai dua orang isteri, Hana dan Penina. Penina mempunyai anak, sementara Hana tidak. Itulah sebabnya, setiap tahun ketika mereka ke Silo untuk berdoa, Hana selalu mengutarakan isi hatinya kepada Tuhan.  Tahun-tahun yang meresahkan hati seorang perempuan, seseorang yang merindukan agar kandungannya terisi jabang bayi, dan dari sana lahir anak di pangkuannya. Mungkinkah itu?

Suatu hari, dalam tahun di mana sesuai tradisi beribadah tahunan di Silo, kali ini keluarga Elkana pergi ke sana. Di tempat itu Hana sekali lagi mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan. Ia tidak meneriaki Tuhannya. Ia tidak meraung-raung tetapi hatinya teriris dan air matanya tak dapat dibendung. Dalam doa yang khusuk ia terus berurai air mata.

Mereka yang turut hadir dalam penyembahan tahunan di Silo menyaksikan apa yang dilakukan oleh Hana, termasuk imam Eli. Sang imam cukup jeli memperhatikan orang-orang yang datang berdoa. Ia melihat Hana tetapi asumsi terhadapnya berbeda. Ia menyangka Hana sedang mabuk, maka ia menegurnya.

Suatu keterkejutan pada imam Eli. Ia justru mendapati jawaban berbeda, "Bukan, aku seorang perempuan yang sangat bersusah hati; anggur ataupun minuman yang memabukkan tidak kuminum, melainkan aku mencurahkan isi hatiku kepada TUHAN. Janganlah anggap hambamu ini seorang perempuan dursila; sebab karena besarnya cemas dan sakit hati aku berbicara demikian lama." (ayat.15-16)

Mendengar jawaban itu, imam Eli membuat pernyataan sebagai berkat padanya. Ia memintanya untuk pulang dan memberi harapan padanya bahwa Tuhan, Allah Israel akan memberikan apa yang dimintanya.

Benar! Hana akhirnya mendapatkan apa yang dimintanya dari Tuhan. Ia mengandung dan pada masanya melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamai Samuel. Ia memberi nama demikian oleh karena, ia telah memintanya dari Tuhan.

Doa Individu, Keluarga dan Komunitas Umat 


Mari kita mulai dengan bertanya, "Sudahkah umat secara berjemaat tekun berdoa, sebagaimana yang dilakukan oleh Hana?"

"Sudahkah keluarga-keluarga tekun berdoa, sebagaimana yang dilakukan Hana?"

"Sudahkan individu-individu tekun berdoa, sebagaimana yang dilakukan Hana?

Hana, sebagai seseorang individu, bukanlah satu komunitas, bukan pula sebagai satu keluarga, walau ia bagian dari keluarga Elkana, namun bila kita personifikasikan umat sebagai satu kesatuan komunitas, maka tentulah dapat berdoa sebagaimana yang dilakukan oleh Hana. Bila orang menempatkan keluarganya sebagaimana seorang Hana berdoa, dipastikan akan berdoa dalam nuansa rasa yang sama. Demikian bila orang sebagai individu mau berdoa.

Bagaimana caranya? Mari belajar dari apa yang terjadi pada diri Hana.

  • Hana "ditindas" secara psikologis oleh Penina yang mempunyai anak. Ia tidak membalasnya, walau sakit di hatinya. Ada pula asumsi bahwa ia sedang mabuk, asumsi itu justru datang dari imam (pemimpin umat).
  • Hana tiada henti-hentinya berdoa untuk satu pokok. Pokok yang satu itu tidak pernah dilupakan, bahkan pada titik waktu yang lain ia curahkan kepada Tuhan dengan menangis. Suara/bunyi kata dalam doa tidak keluar dari mulutnya, tetapi dari dalam hatinya yang hancur.
  • Hana bernazar. Bernazar di sini bukan menempatkan sesuatu barang di hadapan Tuhan sebagai tanda, tetapi ucapan janji yang sungguh-sungguh yang ditepati ketika Tuhan memberi jawaban atas permohonan di dalam doa.
  • Elkana, suami Hana tetap sungguh-sungguh memberikan cintanya kepada Hana, sekalipun ia tidak dapat mengandung untuk melahirkan anak.

Setiap orang yang mau berdoa dengan mencurahkan hatinya kepada Tuhan, bukanlah harus berada dalam suasana psikologis sebagaimana Hana. Orang berdoa kepada Tuhan bukan menunggu orang lain menghina dan menindas; dengan kata lain, bukan menunggu sampai berada dalam kesukaran dan kesulitan akibat himpitan kebencian sesama manusia.

Setiap keluarga atau komunitas umat yang berdoa, kiranya mesti satu perasaan. Satu perasaan di sini bukanlah mesti dibuat-buat menunggu aba-aba, namun anggota keluarga atau anggota komunitas mesti menyadari bahwa ketika menyampaikan curahan hati kepada Tuhan untuk kebaikan bersama dalam satu pokok pergumulan, baiklah satu rasa/emosi adanya.

Di zaman dan generasi manapun, mereka yang mengakui Yesus sebagai Tuhan, Yesuslah Kristus atau Mesias yang dinantikan, maka dipastikan, mereka dihimpit kebencian. Himpitan kebencian bahkan hingga adanya korban nyawa demi pengakuan itu, tetaplah mengantar mereka untuk satu perasaan dalam doa.

Mari mengingat kisah tentang bagaimana satu keluarga yang dipaksa menyangkal Yesus Kristus, menyangkal iman percayanya, namun mereka menolak dengan pernyataan yang akhirnya melahirkan pujian penyembahan yang luar biasa : Mengikut Yesus Keputusanku, I have decided to follow Jesus. 


Keluarga ini hidup di tengah-tengah komunitas suku bangsa yang kanibal. Suku bangsa yang kaum laki-lakinya akan makin dihormati bila kepala manusia makin banyak digantung akibat telah dikalahkan dan dimakan dagingnya.

Ketika Injil Yesus Kristus tiba di dalam suku bangsa ini, ada beberapa keluarga yang menerima-Nya. Bertobat, mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan. Mengikut Yesus Kristus sebagai jalan terbaik bagi mereka untuk meninggalkan dan menanggalkan budaya buruk yakni hidup sebagai kaum kanibalis. 

Komunitas sekitar tak merestui mereka, terlebih kepala suku. Mereka dipanggil untuk diadili dengan hukum alam, yang ancamannya yakni kematian. Satu-satunya tuntutan pada mereka yakni menyangkal iman percaya mereka, menyangkal Yesus Kristus yang telah diterima oleh mereka. Satu persatu anggota keluarga dipenggal kepalanya, mulai dari anak, isteri dan akhirnya kepala keluarga itu sendiri. Ketika anak dipenggal, orang tua berkata, aku telah memutuskan mengikut Yesus. Ketika isteri dipenggal, suami berkata, tetap kuikut walau sendiri, hingga dirinya sendiri dipenggal. Sebelum dipenggal, ia berkata, salib di muka dunia di belakang.

Doa dan keteguhan hati, sebagai iman dari seorang Hana. Doa dan keteguhan hati sebagai  iman dari keluarga yang dipenggal hingga tak tersisa. 

Doa Hana dengan nazarnya untuk menyerahkan anak yang akan dilahirkan sebagai milik Tuhan, terjawab. Doa dan keteguhan iman keluarga yang memutuskan mengikut Yesus sebagai Tuhannya, jalan keselamatan mereka, berdampak besar pada pengakuan akan Yesus Kristus sebagai Tuhan di tempat di mana mereka dipenggal.

Konteks Kekinian Umat Beragama di Indonesia Belajar dari Hana

Dikotomi kaum mayoritas dan minoritas di Indonesia bukan hal baru dalam dunia keagamaan. Ambigu dan kekaburan rasanya ada pada sikap dan tindakan. Sebahagian kalangan dari kaum mayoritas mengkampanyekan persamaan kedudukan sebagai penganut agama, pada sisi lainnya "penindasan" atas nama penjernihan ajaran dipraktikkan. Kaum minoritas makin ditimpa, mereka makin tertempa keteguhan. 

Pada kaum minoritas tak kalah pula sikap  dan gaya pada  kalangan terbatas. Gaya berkhotbah dengan kekhasan sinisme dan sarkasme.  Kaum mayoritas makin menerima sindiran makin menggila walau ternyata melanggar hukum. 

Banyak kasus terjadi di berbagai tempat di Indonesia yang membuat para pengambil keputusan ambigu. Di satu sisi hendak menegakkan aturan, pada sisi sebelahnya desakan dengan pendekatan demonstrasi sangat marak. Atas nama demokrasi, orang mewujudkan ide/gagasan dengan pendekatan non humanis pun dapat terjadi. Betapa rumitnya mengharapkan kesetaraan dan kesejajaran hidup sebagai umat beragama.

Belajar dari Hana, ia tidak mengasingkan diri atau bahkan menjadikan dirinya ekslusif. Ia tetap berada di dalam keluarganya walau harus menerima perlakuan tidak adil dari Penina, salah seorang isteri Elkana. Dalam kehidupan bersama sebagai penganut agama, Hana tetap menunaikan kewajiban agamanya, walau hatinya teriris bahkan diaanggap sedang mabuk. 

Dunia sekitar kaum penganut agama yang taat, selalu ada saja penggoda hingga penjepit yang menindas. Pada kaum yang taat dan tekun dalam kewajiban agamanya saja yang kiranya mendapatkan berkat surgawi, berkat dari Tuhan. Salah satu kewajiban agama yang kuat yakni berdoa. Tekun berdoa. Doakan satu pokok setiap saat, bukan memborong pokok doa.

Tuhan mendengar doa setiap  orang, setiap keluarga, setiap komunitas umat yang taat dan tekun dalam doanya. Tuhan mendengar doa orang-orang yang terjepit, tentu bila mereka yang terjepit tidak layak dan pantas untuk membalas menjepit.

    

Pdt Mery Lomi Ga menerima buku sebagai tanda kenangan; foto: dokpri, Roni Bani
Pdt Mery Lomi Ga menerima buku sebagai tanda kenangan; foto: dokpri, Roni Bani

Penutup

Pada akhir dari ibadah Minggu ini (12/5/24), saya menyerahkan buku berjudul Serpihan Kebudayaan Masyarakat Pah Amarasi. Buku ini dierima oleh Ketua Majelis Jemaat Imanuel Si'uf Klasis Amarasi Timur. Buku diserahkan sebagai tanda kenangan.

Koro'oto-Si'uf, 11-12 Mei 2024

Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun