Mari kita mulai dengan bertanya, "Sudahkah umat secara berjemaat tekun berdoa, sebagaimana yang dilakukan oleh Hana?"
"Sudahkah keluarga-keluarga tekun berdoa, sebagaimana yang dilakukan Hana?"
"Sudahkan individu-individu tekun berdoa, sebagaimana yang dilakukan Hana?
Hana, sebagai seseorang individu, bukanlah satu komunitas, bukan pula sebagai satu keluarga, walau ia bagian dari keluarga Elkana, namun bila kita personifikasikan umat sebagai satu kesatuan komunitas, maka tentulah dapat berdoa sebagaimana yang dilakukan oleh Hana. Bila orang menempatkan keluarganya sebagaimana seorang Hana berdoa, dipastikan akan berdoa dalam nuansa rasa yang sama. Demikian bila orang sebagai individu mau berdoa.
Bagaimana caranya? Mari belajar dari apa yang terjadi pada diri Hana.
- Hana "ditindas" secara psikologis oleh Penina yang mempunyai anak. Ia tidak membalasnya, walau sakit di hatinya. Ada pula asumsi bahwa ia sedang mabuk, asumsi itu justru datang dari imam (pemimpin umat).
- Hana tiada henti-hentinya berdoa untuk satu pokok. Pokok yang satu itu tidak pernah dilupakan, bahkan pada titik waktu yang lain ia curahkan kepada Tuhan dengan menangis. Suara/bunyi kata dalam doa tidak keluar dari mulutnya, tetapi dari dalam hatinya yang hancur.
- Hana bernazar. Bernazar di sini bukan menempatkan sesuatu barang di hadapan Tuhan sebagai tanda, tetapi ucapan janji yang sungguh-sungguh yang ditepati ketika Tuhan memberi jawaban atas permohonan di dalam doa.
- Elkana, suami Hana tetap sungguh-sungguh memberikan cintanya kepada Hana, sekalipun ia tidak dapat mengandung untuk melahirkan anak.
Setiap orang yang mau berdoa dengan mencurahkan hatinya kepada Tuhan, bukanlah harus berada dalam suasana psikologis sebagaimana Hana. Orang berdoa kepada Tuhan bukan menunggu orang lain menghina dan menindas; dengan kata lain, bukan menunggu sampai berada dalam kesukaran dan kesulitan akibat himpitan kebencian sesama manusia.
Setiap keluarga atau komunitas umat yang berdoa, kiranya mesti satu perasaan. Satu perasaan di sini bukanlah mesti dibuat-buat menunggu aba-aba, namun anggota keluarga atau anggota komunitas mesti menyadari bahwa ketika menyampaikan curahan hati kepada Tuhan untuk kebaikan bersama dalam satu pokok pergumulan, baiklah satu rasa/emosi adanya.
Di zaman dan generasi manapun, mereka yang mengakui Yesus sebagai Tuhan, Yesuslah Kristus atau Mesias yang dinantikan, maka dipastikan, mereka dihimpit kebencian. Himpitan kebencian bahkan hingga adanya korban nyawa demi pengakuan itu, tetaplah mengantar mereka untuk satu perasaan dalam doa.
Mari mengingat kisah tentang bagaimana satu keluarga yang dipaksa menyangkal Yesus Kristus, menyangkal iman percayanya, namun mereka menolak dengan pernyataan yang akhirnya melahirkan pujian penyembahan yang luar biasa : Mengikut Yesus Keputusanku, I have decided to follow Jesus.Â
Keluarga ini hidup di tengah-tengah komunitas suku bangsa yang kanibal. Suku bangsa yang kaum laki-lakinya akan makin dihormati bila kepala manusia makin banyak digantung akibat telah dikalahkan dan dimakan dagingnya.