Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sah-Tidaknya Anak Menurut Kebudayaan Masyarakat Pah Amarasi di Timor

1 Mei 2024   08:30 Diperbarui: 1 Mei 2024   19:37 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://bpkpenabur.or.id/

Pengantar

Setiap etnis memiliki entitas tertentu yang membedakannya dengan etnis lainnya. Tiga di antara entitas yang membedakan yakni bahasa yang digunakan,bentuk fisik, dan nama. Bila mendengar percakapan dalam bahasa daerah tertentu, orang mulai menduga-duga asal-usul mereka yang sedang bercakap-cakap. Bila melihat tampilan orang dengan postur, warna kulit, model rambut, orang menerka asal daerah, dan bila mendengar nama disebutkan dugaan asal daerah pun terbersit.

Nama, menjadi identitas dari tiap orang. Nama dalam masyarakat adat penghuni pulau Timor bagian Barat, ada penanda yang membedakan dengan etnis lainnya. Nama dalam etnis Timor (Atoin' Meto') dikenal ada tambahan di belakang nama yang sama untuk setiap rumpun keluarga. Nama di belakang itu menjadi penanda akan entitas rumpun keluarga (umi).

Sangat variatif dan banyak nama yang melekat rekat pada setiap orang penghuni pulau Timor bagian Barat, khususnya pada masyarakat adat Timor.

Baca juga: Apa Itu A

Pada tulisan ini, saya akan fokus pada nama anak dalam masyarakat adat Pah Amarasi di Timor (bagian Selatan). Nama anak dinyatakan sah-tidaknya untuk menyandang  nama rumpun keluarga melalui proses tertentu di dalam hukum adat.

Selayang Pandang tentang Pah Amarasi dan Masyarakatnya

Pah Amarasi merupakan salah satu wilayah ke-usif-an di dalam pulau Timor pada masa lampau. Pemimpinnya disebut uispah sebagaimana umumnya di wilayah ke-usif-an lainnya di Timor, kecuali sebutan untuk Liurai di Wewiku Wehali (Belu dan sekitarnya). Pah Amarasi mengalami perubahan struktur pemerintahan dari pemerintahan yang bersifat adat-istiadat menjadi pemerintahan yang terstruktur ketika bersentuhan dengan bangsa-bangsa di dalam Nusantara serta bangsa Eropa: Portugis dan Belanda.

Sebutan Pah Amarasi berganti menjadi Kerajaan Amarasi dan Uispah menjadi raja. Sementara sebutan para pemimpin kampung yang semula 'nakaf berganti menjadi Temukung, dan beberapa istilah lainnya seperti: haema'kafa', barmenen, punu'-atu', pika'-sono', poni-poni-nepat, amnasit. Istilah-istilah ini berhubungan dengan tugas yang diterimakan kepada seseorang atau sekelompok orang. Gelar kepada raja pun disematkan oleh pendatang dari Eropa/Portugis. Gelar Don disematkan kepada raja. Don ditempatkan di depan nama.

Kerajaan Amarasi mengalami degradasi secara politis ketika bersentuhan dengan Belanda, dimana Kerajaan menjadi Swapraja. Masyarakat kurang mengetahui hal ini sehingga tetap menyebut Uispah kepada rajanya, dan para wakil raja di daerah disebut Fetor dan pemimpin kampung tetap disebut temukung. 

Sebutan-sebutan ini hilang ditelan zaman ketika Swapraja Amarasi menjadi bagian intergral dari NKRI. Swapraja Amarasi menjadi Kecamatan Amarasi dengan menggabungkan 60 (ada pula yang menyebut 62) wilayah Kemukungan. Penggabungan wilayah ketemukungan membentuk 23 wilayah desa gaya baru. 

Kini, Kecamataan Amarasi telah dimekarkan menjadi 4 wilayah Kecamatan: Amarasi, Amarasi Timur, Amarasi Barat dan Amarasi Selatan. Di dalam wilayah-wilayah kecamatan ini secara sosiologis dan linguistik terbagi atas 2 bagian besar yakni Kotos dan Roi'is. 

Mengenal dan membedakan mana daerah Kotos dan mana Roi'is, sangat mudah. Nama-nama desa/kelurahan menjadi penanda yang membedakan Kotos dengan Roi'is.

Berikut nama-nama desa/kelurahan Kotos:

  • Soba
  • Kotabes
  • Nonbes (Kelurahan)
  • Oesena
  • Ponain
  • Tesbatan
  • Apren
  • Oenoni
  • Oebesi
  • Rabeka (bentukan baru)
  • Nekmese

Berikut nama-nama desa/kelurahan Roi'is

  • Merbaun
  • Erbaun
  • To'obaun
  • Teunbaun (Kelurahan)
  • Tunbaun
  • Niukbaun
  • Pakubaun
  • Sonraen (Kelurahan)
  • Buraen (Kelurahan)
  • Retraen
  • Sahraen
  • Enoraen

Masyarakat dalam 4  desa disebut masyarakat Tais Nonof, yakni: Sahraen, Pakubaun, Rabeka dan Enoraen. Pada desa-desa ini terjadi asimilasi Kotos, Roi'is dan imigran lokal dari arah Timur yang disebut Neonsaetas.

 Mari saya ajak masuk ke dalam budaya pengesahan anak dalam keluarga versi Kotos dan Roi'is

Secara umum setiap anak yang lahir dalam satu keluarga (pasangan suami-isteri) yang menikah "sah" akan mengikuti sistem patriakh. Saya beri tanda kutip pada kata sah, berhubung sahihnya suatu perkawinan terdapat paling kurang tiga versi.

Dalam masyarakat adat Pah Amarasi, tidak selalu ketiga hal ini tuntas dalam upaya mengurus suatu perkawinan/pernikahan. Pada titik aturan yang demikian, terjadi kejanggalan pada pemberian nama menurut rumpun keluarga (umi).

Anak Sah menurut hukum Perkawinan Adat

Sah-tidaknya seorang anak dalam satu rumpun keluarga terdapat dua versi: ri'aan nasi/ri'aan pusaak,  na'oi, arkeen dan natuin amaf. 

Ri'aan nasi/ri'aan pusaak ada dalam pengetahuan umum sebagai anak yang lahir tanpa seorang ayah yang bertanggung jawab. Bila hal ini terjadi, maka anak akan mengikuti garis keturunan ibunya (matriakh). Pada kalangan Roi'is hal ini akan berlangsung selamanya, sementara pada kaum Kotos, tidak selalu demikian. Seorang anak yang disebut ri'aan nasi pada suatu titik waktu tertentu akan mencari untuk menemukan rumpun keluarganya yang sah (npeo' ma naim naaf/'naof). Kelak bila menemukan rumpun keluarganya, maka akan diadakan upacara saebnono kepadanya sehingga ia terhisap ke dalam rumpun keluarga (umi) itu.

Ri'aan pusaak disebut demikian bila satu keluarga memiliki sejumlah gadis tanpa saudara laki-laki. Seseorang di antara mereka yang mengandung dan melahirkan seorang anak (bersyukur jika laki-laki), maka kepadanya disematkan istilah ri'aan pusaak. Anak yang demikian akan menerima nama rumpun keluarga kakeknya agar menjadi cikal-bakal penerus garis keturunan yang menganut sistem patriakh. Ia tidak akan dilepaspergi untuk mencari dan menemukan rumpun keluarga dari ayahnya yang tidak bertanggung jawab itu. Ri'aan pusaak akan mewarisi rumah, ladang dan mamar (umi-mone').

Na'oi, artinya seseorang anak lahir dari pasangan suami-isteri sah dapat menyerahkannya kepada orang tua dari ibu anak ini.   Anak yang diserahkan akan menggunakan nama rumpun keluarga dari ibunya. Proses na'oi dilakukan dan diketahui bersama paling kurang oleh empat rumpun keluarga yakni dua rumpun keluarga dari pihak suami (ayah anak itu), dan dua rumpun lainnya dari pihak isteri (ibu anak itu), dengan disaksikan oleh pemangku adat dan pemangku kepentingan lainnya.

Arkeen, artinya adopsi. Satu pasangan suami-isteri yang tidak mempunyai anak dapat melakukan suatu proses hukum adat yang disebut arkeen. Arkeen dilakukan dengan memohon kesediaan sepasang suami-isteri untuk menyerahkan seorang anak kepada sepasang suami-isteri yang tidak memiliki anak (nkiu). Bila pendekatan untuk proses arkeen ini  disetujui, maka selanjutnya empat rumpun keluarga menghadiri ritual ini, dengan dihadiri dan disaksikan oleh pemangku adat dan pemangku kepentingan lainnya. Ritual arkeen yang telah berlangsung selanjutnya akan mengalihkan nama rumpun keluarga anak itu ke dalam rumpun keluarga dari pasangan suami-isteri yang mengadopsinya (arkeen).

Natuin amaf, artinya nama rumpun keluarga mengikuti rumpun keluarga ayahnya.Hal ini terjadi sesuai hukum perkawinan adat yang sudah mencapai puncaknya yakni, sea' nono heu' dan saeb nono heu'. 

Sea' nono heu' artinya, nama sebutan manis (akun, akuf) yang melekat pada seorang calon ibu/isteri ditanggalkan di dalam rumpun keluarganya (uim nono, umi mnasi'). Akun, akuf akan berganti mengikuti akun, akuf dari suaminya, maka diadakan satu ritual yang disebut saeb nono heu', yakni menerima ibu/isteri ke dalam rumpun keluarga suaminya dan kepadanya disematkan nama akun, akuf baru.

Demikian sekelumit urai tentang sah-tidaknya nama anak pada kalangan masyarakat adat Pah Amarasi yang sebahagian di antaranya masih berlaku sampai saat ini.

Anak Sah Menurut Hukum Negara (UU Administrasi Kependudukan)

Mari menelusur pemberian nama menurut hukum positif yang dibuat oleh Pemerintah NKRI, yakni melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 tentang Administrasi Kependudukan.

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, setiap kelahiran dan kematian wajib untuk dilaporkan kepada Instansi Pelaksana yang ditunjuk Pemerintah Kabupaten/Kota. Pelaporan atas kelahiran dalam tenggat waktu tertentu akan mendapatkan dokumen kependudukan yang disebut Akta Kelahiran, dan kematian akan memperoleh Akta Kematian.

Dalam hal anak yang lahir dalam satu keluarga diatur sebagai berikut:

Pasal 49

  • (1) Pengakuan anak wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengakuan anak oleh ayah yang disetujui oleh  ibu dari anak yang bersangkutan
  • (2) Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara

Pasal 50

  • (1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari  sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan
  • (2) Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan  sah menurut hukum agama dan hukum negara

Memperhatikan kedua ayat dari UU Administrasi Kependudukan, maka apa yang dilakukan oleh masyarakat adat Pah Amarasi perlu segera mengikutinya.

Khusus pada pasal 49, hendak mengisyaratkan bahwa setiap kelahiran di mana ayah darai calon bayi/bayi/anak, tidak bertanggung jawab, maka anak itu akan memiliki orang tua tunggal yakni ibunya. Maka, ketika melaporkan kelahirannya tanpa diikutsertakan dengan akta perkawinan yang dikeluarga oleh Instansi Pelaksana, anak itu bukanlah "anak bapak".

Penutup

Meneruskan nama dalam keturunan agar menggenerasi merupakan budaya tidak tertulis pada masyarakat adat Pah Amarasi, dan Atoin' Meto'  pada umumnya. Garis keturunan yang mengikuti ayah (patriakh) dianut oleh masyarakat adat Pah Amarasi.. Bila harus mengikuti  garis keturunan ibunya, maka akan terjadi proses menurut hukum adat. Proses lainnya yakni mengajukan permohonan melalui pengadilan untuk pengakuan dan pengesahannya.

Semoga tulisan ini memberi inspirasi. Terima kasih.

Sumber:

Heronimus Bani

Umi Nii Baki-Koro'oto, 1 Mei 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun