"Sayang sekali, aku tak boleh basah. Bulu-buluku yang halus tak dapat dibasahi secara serampangan. Aku tak mampu membersihkan hingga mengeringkannya. Hari ini aku apes, tapi aku berjanji pada diriku sendiri, ada saatnya aku akan mendamprat mangsaku itu dan menelan bulat utuh." Simeong menggeram. Ia membalikkan badan, melihaat di kejauhan untuk menemukan sumber cahaya dan kembali ke pemukiman penduduk kota.
Sicitit telah tiba di pemukiman penduduk kota. Seluruh tubuhnya dilumuri basahan berminyak dalam warna berkilau ketika diterpa cahaya lampu merkuri. Ia merangkak perlahan-lahan agar tak disadari oleh penduduk.
Seorang anak duduk di seberang jalan melihat Sicitit. "Wah ... di situ ada tikus got. Pasti bau sekali!" teriakn anak itu.
Sontak sekelompok pemuda bangun berdiri. Mereka sedang bercanda dalam cerita malam mereka. Rokok, kopi dan sekadar miras mereka hisap, seruput dan minum. Â
Mereka hendak mengejar Sicitit, tetapi ia telah melompat kembali ke dalam drainase berair aroma busuk yang tenang teduh.
Sampah plastik bertindihan di tengah megahnya bangunan raksasa yang pongah., ditingkahi hiruk-pikuk berbagai jenis kendaraan. Semuanya menghias kota dengan kisah menarik, menggugah dan mencemaskan.
Kegerahan tak habis-habisnya. Pori-pori terus saja berair. Pendingin ruangan tiada pernah dihentikan walau sementara.
Simeong melangkah pergi menemukan tempatnya berteduh. Ia berbaring menunggu mimpi bertemu mangsanya Sicitit.Â
Sicitit telah meloncat ke bibir drainase, lalu masuk ke dalam sela-sela tumpukan kayu bekas yang dibongkar dari bangunan yang baru saja selesai dibangun. Ia menemukan tempat yang aman dan nyaman untuk melepas lelahnya.Â
***Â
Catatan fiksi setelah pulang dari kota besar. Semoga menginspirasi