Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Suka membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa. Menulis puisi sebisanya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Simeong dan Sicitit Gorong-Lorong Kota

24 April 2024   15:30 Diperbarui: 24 April 2024   15:33 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu Simeong dan Sicitit bertemu di lorong dalam gorong-gorong di bawah kota. Lorong dalam gorong diterangi secara samar-samar dari bias lampu-lampu merkuri. Ada pula bias dari lampu gedung-gedung pencakar langit. Bias itu sungguh buram tiba di dalam lorong, namun Simeong dan Sicitit bahagia.

Simeong berdiri di ujung lorong, sementara Sicitit berada di ujung sebelahnya. Keduanya saling pandang di keremangan itu.

"Sial... Aku salah ambil jalan rupanya. Bagaimana caranya supaya aku dapat lolos dari kejarannya Simeong?" Sicitit membatin

Baca juga: Aksesori Kota

"Hei... menarik. Tak repot-repotlah aku memlototkan mata. Dia muncul sendiri." Simeong bergumam

Sicitit berpikir keras. Ia hendak mendapatkan cara agar ia dapat lolos dari cengkeraman Simeong.

Ia segera berancang-ancang, berbalik dan lari sekencang-kencangnya. Simeong tak mau ketinggalan. Ia pun mengejar dengan kecepatan prioritas. Sicitit akan segera tiba di gorong besar yang berair. Ia ingat, aliran air itu datang dari drainase pemukiman penduduk kota.

Sambil berlari, ia menggumam, "Baiknya aku melompat ke dalam aliran air, lalu aku berenang melawan arus agar dapat kembali ke drainase di pemukiman." 

Sicitit tiba di gorong berair mengalir. Ia melompat ke dalamnya. Pada saat itu, Simeong memasang kuda-kuda perhentian secara amat cepat. Berat badannya nyaris terbuang ke dalam gorong-gorong. Ia tidak sudi basah, apalagi aliran air gorong-gorong pekat dan beraroma menusuk pori-pori lubang hidung.

Sicitit berenang melawan arus, terus berenang hingga tiba di drainase pemukiman penduduk kota. Aliran air makin berkurang, bahkan cenderung diam, tenang dan teduh. Sicitit mengurangi kecepatan ayunan, sambil menyembulkan kepala untuk menghirup udara. Nafasnya tersengal-sengal. 

Di sisi dalam gorong beraliran air berwarna pekat, Simeong duduk terpekur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun