Pembaca Kompasiana yang saya muliakan. Tulisan kali ini akan saya kutip tiga dari antara beberapa puisi yang pernah saya tulis ketika ada sahabat yang meninggal dunia. Ada di antaranya yang saya baca sendiri dan ada yang cukup saya kirim dan ada sahabat yang membacanya.
Puisi 1
Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk mengenang seorang sahabat yang pernah bertugas di TImor Timur, pulang dan bertugas ke kampungnya meninggal di sana.
Sahabat
Apakah kata yang tepat untuk menggambarkan keberadaanmu?
Kau telah ada pada pangkuan ibundamu
Kau telah menjadi bagian yang memberi harapan pada orang tuamu
Kau telah mewujudkan harapan itu dalam wujud karya bermakhota
Kau telah memberi kebanggaan pada seisi rumahmu dan kerabatmu.
Sahabat
Pengetahuan, ketrampilan, dan keberanian modalmu ke perantauan
Kau raih mimpimu di perantauan Timor Timur
Kau dekap dalam cinta yang tulus kekasihmu bersama keluarga kecilmu
Kau peluk erat buah cintamu ketika melewati celah desingan murka pembelahan negeri
Kau bawa dan lanjutkan cinta dan pengabdian wujud karyamu di sini
Kau tunaikan hingga nyaris mencapai batas akhir.
Sahabat
Kita pernah berbagi keceriaan dan kegemasan di ruang-ruang kelas
Kita pernah bergurau dalam kekecewaan di pendopo birokrasi
Kita pernah gerah sambil tersenyum di arena kemunafikan
Kita pernah melewati rentang masa kesabaran dan ketabahan
Kita pernah menggertak gigi, menggigit bibir dan memasang kepal
Kini...
Kau tak lagi merasakan semua itu
Tinggallah kami para sahabatmu dan kerabatmu di sini
Kami masih berada di barisan abdi melanjutkan pengabdian
Selamat jalan sahabat
Ibu Pertiwi menyambutmu di pangkuannya
Tangannya terulur, pelukannya hangat.
Tersenyumlah sahabat.
Koro'oto-Pah Amarasi, 26 Desember 2021
Puisi 2
Puisi ini ditulis dan dikirimkan kepada rekan-rekan guru yang sedang berduka, oleh karena meninggalnya seorang sahabat dalam kecelakaan lalu lintas. Ironisnya, sahabat yang meninggal ini justru sedang dalam perjalanan pulang setelah mengikuti upacara pernikahan saudaranya. Saya menulisnya ketika sedang bertugas di pedalaman.
Sahabat,
Ketika aku melihat penggalan kabar tentang dirimu
Aku sedang berada di lokus yang teramat jauh
Aku menitikkan air mata
Aku sungguh mengelus dada
Darah di sekujur tubuhku menghangat
ragaku bagai dipanaskan
Aku mencoba bertanya:
Mengapa?
Bagaimana?
Kemana dan dimana?
Lalu nyaliku berujar
Apatah daya insan
Lahir dan hidup
Tumbuh dan berkembang
Berprakarsa
Berkarsa
Berkata
Berkarya
Aku duduk memandang potretmu
Sambil bergumam
….
Andaikata
…. ?
Sayangnya aku tak dapat … .
Aku tak dapat bagai burung mengangkasa
Aku tak dapat bagai bayu mendesis mengalun segera tiba.
Di sini,
Aku mengirim aksara tanpa nada kenikmatan
Tapi iramanya kuutamakan kepiluan
Karena sahabat guru dan siswa telah pergi
Pergi untuk selamanya
Sahabat
Kenangan padamu akan selalu membayang
Bila hendak kususuri
Tiada tiba di ufuk gapai
Selamat Jalan Sahabat
Aku di sini menitikkan air mata sambil menjepit pinsil
Meramu kata dalam bait kesedihan.
Ibu Pertiwi menyambut di haribaannya.
Sang Khaliq memeluk dirimu dalam kehangatan-Nya.
Nunkolo-Amanatun, 25 Agustus 2022
Puisi 3
Puisi ini ditulis dan dikirimkan kepada rekan-rekan guru yang sedang berduka ketika seorang rekan guru baru saja pensiun, jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia seorang guru Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
Kepada Sahabat kami, teman kami, dan rekan kami
Bila kemarin kau tersenyum di ruang-ruang kelas
Sembari menyuntikkan darah dan roh pengetahuan
melegasikan naiknya martabat kemanusiaan
Kami di sampingmu menggandeng dan memeluk.
Bila zamannya ada simfoni merdu kaum guru orkes
di sana ada orkestrasi olah pikir dan olah raga
kaummu menggemakan mengolahragakan masyarakat
bersama penguasa dengan jargon stabilitas
bangsa ini pernah berjaya menaikkan jati diri guru orkes.
Bila hari ini kaum guru orkes bagai timbul-tenggelam
Kaummu bagai sedang berenang dalam varian gaya
menapak tangga naik tak kuat meraih kalungan medali
lalu menoleh pada birokrasi yang tersenyum sipit saja
memberi rasa manis pada tadahan telapak tangan.
Bayu mendayu-dayu kau hembuskan, sahabat
bersumber dari raga yang pernah mekar nan kekar
ketika irama jalanan menanjak dan menurun
panas kau tak hirau, hujan tak kau peduli
sejenak istirahatmu kini bayu berlalu isak merebak.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 28 Desember 2023
Sumber:Â
1. Nyaris tiba di Batas Pengabdian – Roni's Blog (home.blog)Â
2. Beda Nuansa ketika di Nunkolo – Roni's Blog (home.blog)
3. Bayu Berlalu Isak Merebak – infontt.com  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H