Pagi ini, Kamis (14/3/24), ketika membuka WhatsApp ada selembar foto disertai sepenggal kabar. Kabar itu berbunyi, kami ketemu di Tutun pung meja belajar, dilengkapi dengan beberapa emoji. Foto itu dibuat oleh adik bungsu kami. Mereka menetap sementara di desa Oenaek Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. Menetap sementara oleh karena ia dapat dimutasi untuk kepentingan pelayanan oleh Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), berhubung tugasnya sebagai seorang karyawan GMIT dalam fungsi sebagai pelayan umat/jemaat (Pendeta).
Ia sudah berkeluarga dengan memiliki satu orang anak perempuan. Anak perempuan ini sedang duduk di bangku Sekolah Dasar. Ia sudah dapat menulis dari apa yang tersirat di benaknya.
Tulisan itu menarik. Kemenarikannya menjadi catatan pada saya, oleh karena semua anak-anak kami belum pernah ada yang mengungkapkan isi benaknya tentang kakek-nenek mereka secara tertulis. Tulisan ini untuk pertama kalinya yang membuat kami terkejut.Â
Nenek mereka, ibunda kami meninggal pada Mei 1992. Saat itu kami belum berkeluarga, bahkan adik bungsu kami masih duduk di bangku Sekolah Dasar di salah satu sekolah dasar di sekitar Kota Kupang. Kakek mereka, ayahanda kami meninggal pada Maret 2019 bertepatan dengan hari pencoblosan pemilihan umum.
Apakah suatu kebetulan, cucunya yang bernama Tutun mengingat akan neneknya pada Maret ini? Neneknya lahir pada bulan Maret 1934, kakeknya meninggal pada bulan Maret 2019.Â
Ayahnya, yaitu adik kami yang bungsu tumbuh fisik dan berkembang psikisnya, menyelesaikan masa belajarnya pada jenjang sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga mencapai sarjana; bahkan Tuhan mengizinkannya menjadi seorang pelayan umat. Menikah dan mempunyai seorang anak perempuan.Â
kembali ke "surat cinta" Tutun untuk neneknya. Isinya dalam campuran Bahasa Melayu Kupang, seperti ini
Untuk Oma Amarasi
Oma, kenapa Oma tidak ada di dunia sejak aku ada?
Tutun sangat ingin Oma ada di dunia supaya Tutun bisa merasakan kasih sayang kepada seorang cucu
Tutun sangat kangen dengan Oma, dan dari dulu Tutun mau Oma bisa bahagia dengan keluarga.
Tutun tidak akan melupakan Oma, karena kalau tidak ada Oma mungkin Tutun tidak ada di dunia
Dari: Tutun
Tutun menyapa Oma Amarasi, oleh karena ada padanya Oma Ende. Ibunya berasal dari Ende-Flores.
Tutun pernah merasakan kebersamaan dengan kakeknya (Opa) walau tidak seberapa lamanya. Pada 2019 ketika hari penguburan jenazah kakeknya, ia meratapi jenazah kakeknya begitu amat memilukan kami semua. Hatinya hancur kehilangan kakek.Â
Nah, pagi ini kami dikejutkan dengan catatan itu, dan saya menuliskannya di sini untuk dokumentasi dan kenangan bernilai. Anak-anak kami akan terinspirasi darinya.Â
Umi Nii Baki-Koro'oto, 14 Maret 2024
Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara ~ Meo Mnasi' Umi Nii Baki-Koro'oto
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H