Kongres-kongres itu menghasilkan hal-hal seperti ini: (sumber)
- November 1946 meminta Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Soekarno agar penyelenggaraan pendidikan dilakukan atas dasar kepentingan nasional. Kongres  ini pun meminta adanya Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Undang-Undang Pokok Perburuhan.Â
- Februari 1948, diadakannya Komisariat-komisariat di daerah Provinsi
- September 1948, keluar dari Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, berkonflik dengan Partai Komunis Indonesia
- Desember 1950, memilih Pancasila sebagai asas organisasi PGRI
- Februari 1966 menolak paham Komunisme
- Juni 1979 perlunya pembinaan lembaga pendidikan PGRI di bawah payung PGRI. Lahir Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan (YPLP) PGRI
- November 1994 penetapan Hari Guru Nasional melalui Kepres Nomor 78 tahun 1994
- November 1998, PGRI sebagai organisasi perjuangan dan ketenagakerjaan; sifat organisasi: unitaristik, independen, non partisan
- Desember 2004, penetapan Guru sebagai Profesi oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono
- Desember 2005, Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Ketika lahir Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, rasanya perjuangan PGRI telah mencapai klimaksny. Tidak! Organisasi PGRI terus mengawal pelaksanaan dari UU tersebut, khususnya menyangkut aspek:
- Kesejahteraan Guru baik dalam status sebagai guru ASN/PNS maupun honorer
- Ketersediaan anggaran pendidikan sesuai amanat konstitusi, baik oleh APBN maupun APBD
- Pengangkatan/peningkatan status guru honorer sebagai CASN/CPNS dan kini menjadi PPPK
- Tersedianya sarana-prasarana, fasilitas pembelajaran yang memadai
- Akses transportasi, listrik dan jaringan internet yang memadai untuk menunjang penyelenggaraan pendidikanÂ
- Â dan lainnya
Pada jenjang Pengurus Besar PGRI di Jakarta cukup terlihat kerja keras (perjuangan) itu. Â Komunikasi dibangun dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi serta Kementerian terkait yang mengurus status kepegawaian guru dan status kesejahteraan guru, dan segala hal yang berhubungan dengan guru.
Sikap skeptis ternyata disasarkan kepada Pengurus PGRI di daerah-daerah. Mengapa? Pengurus PGRI di daerah kabur kantornya. Kantornya berada di mana pengurus berada. Para pengurus sering sekali sebagai guru aktif sehingga kepedulian pada organisasi dan anggotanya menjadi lemah.
Pengurus Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) sering sekali hadir sebagai papan nama. Iuran anggota dikelola tanpa transparansi kepada anggota. Menurut Konstitusi PGRI rapat kerja diadakan setiap tahunnya, adakah yang menyelenggarakannya? Ada, bagaimana hasilnya agar diketahui semua anggotanya? Kabur...
Pengurus Daerah (Provinsi, Kabuapten, Kota) tanpa program dan aksi yang pasti terlihat. Maka, konsolidasi organisasi sampai ke cabang (kecamatan) dan ranting di desa atau unit satuan pendidikan selalu tidak dapat dilaksanakan secara baik, bahkan dalam 4 tahun kepengurusan.
Ini semua tantangan, sekaligus masalah yang dilihat oleh anggota yang skeptis terhadap organisasi PGRI.
Oleh karena itu, adalah baik bila pengurus daerah bersikap sesudah Kongres ke XXIII ini. Kiranya bukan semua pengurus daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) . Tentulah pengurus daerah tertentu sangat aktif bersuara kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan Kota) agar dunia pendidikan di daerah mendapatkan sentuhan. Ini akan menjadikan para anggota melek pada organisasi PGRI
Jika pengurus daerah PGRI di Provinsi, Kabupaten atau Kota hanya papan nama, namun bila  Hari Guru Nasional tiba berpidato secara berapi-api, siapa yang pedulinya? Memobilisasi anggota untuk menghadiri upacara HGN/HUT PGRI setiap 25 November itu bagai kesempatan "berlibur" sehari pada guru, dan sekaligus mengecap setitik manisnya iuran yang diberikannya.
Penutup