Pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Sosial (Bansos), Program Keluarga Haraapan (PKH) dan lain-lain program yang menyasar masyarakat kelas bawah yang katanya di bawah garis kemiskinan, program itu terlihat baik dari sisi ekonomi. Sungguh disayangkan bila dilihat dari sisi karakter anak bangsa; karakter pejuang menjadi lembek; pekerja keras menjadi pengulur tangan.Â
Program Indonesia Pintar pada semua jenjang hingga perguruan tinggi. Justru program ini yang kiranya terlihat sukses. Penerimanya merasa sungguh-sungguh digratiskan bahkan berlebih untuk kebutuhan pembiayaan pendukung pendidikan. Mereka yang menerima PIP dan KIP Mahasiswa justru mengejar masa studi agar tepat waktu sehingga mendapatkan keuntungan dari program ini. Di sini ada daya juang yang dipertaruhkan. Maka, PIP dan KIP Mahasiswa telah membangun jiwa dan daya  siswa dan mahasiswa untuk giat dalam belajar dengan mempertimbangkan penggratisan oleh negara. Ia menikmati gratis namun sesungguhnya negara membayar harga dan nilai.
Sekadar membayangkan makan siang dan minum susu gratis ala Prabowo-Gibran tentu tidak perlu skeptis karena di dalamnya ada para pakar. Mereka  mewacanakan institusi baru yang khusus menangani program unggulan ini. Wao... bukankah hal ini akan makan waktu? Institusi atau kementerian baru akan memakan waktu pembentukannya, pengangkatan pejabat di tingkat pusat hingga daerah bahkan sampai di desa/kelurahan? Suatu jenjang dan rentang kendali yang sangat panjang, sementara program ini prioritas (baca di sini).
Gratis tentu cuma-cuma tanpa harga, bukan? Tidak! Gratis pun ada harga yang harus dibayar. Tidak disebutkan sesuatu yang gratis dalam hal materil tanpa harga yang harus dibayar?Â
Gratis, mungkin pada udara yang dihirup? Tetapi, udara segar untuk kehidupan pun kini mulai terancam dengan polusi. Tidakkkah udara sedang mahal ketika polusi terjadi? Maka, udara yang gratis pun sudah mahal.
Kini, makan siang dan minum susu gratis bukan saja wacana, tapi telah dimulai percontohannya sebagaimana pemberitaan media-media daring. Â Dikabarkan akan mengerahkan tiga puluh dua ribu desa untuk mendukung program ini. Desa-desa yang dikerahkan tentulah berharap agar "kantong" desa terisi, tidak gratis.Â
Kantong desa terisi dengan menerima dampak dari program makan siang dan minum susu gratis. Hal yang demikian sudah ada dalam kalkulasi tim kerja yang sedang bersiap-siap melakukan "tendangan bola pertama" pada program makan siang dan minum susu gratis ini.
Kita sungguh berharap agar program ini  tidak mubazir. Menggratiskan itu tidak selalu ada jaminan kualitas pelayanan, dan kualitas material yang diterima.
Satu-satunya susu gratis tanpa imbalan yakni Air Susu Ibu (ASI). Maka, tidak baikkah mengkampanyekan untuk menyusui sampai batas maksimal sesuai ketentuan menyusui anak? Mengapa bukan ASI yang dikampanyekan, bukankah zaman telah menggeser praktik menyusui dari ibu-ibu kepada bayi yang semestinya masih menyusui?
Mohon maaf untuk artikel iseng ini.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 25 Februari 2024