Ketika pertanyaan itu disampaikan, kami yang duduk bersama sang kakek, terdiam sebentar. Kami belum ada yang mau menjawab. Sang Kakek melanjutkan,Â
"Saya lihat banyak orang muda menyelesaikan studi di perguruan tinggi. Begitu menyelesaikan studi dan mendapat gelar sarjana, dan bertepatan dengan musim pemilihan umum, orang-orang muda itu pun bergegas mendaftar ke partai politik. Memangnya mendaftar ke partai politik itu untuk mendapatkan profesi? Bila diterima di partai politik, lalu berlanjut menjadi caleg, kemudian berhasil terpilih sebagai anggota legislatif, memangnya itu profesi?"
Wah... kami yang mendengar pernyataan ini kebibungan. Tidak satu pun berani memberi tanggapan.
Sang Kakek melanjutkn lagi,
"Seseorang menjadi anggota pada badan legislatif, baik itu di pusat, provinsi, kabupaten atau kota, semestinya orang itu sudah punya profesi sebelunya. Ia sudah tahan banting pada profesinya. Segala suka-duka pada profesi yang digelutinya akan menjadikan dirinya orang yang bijaksana. Nah, orang yang bijaksana diperlukan untuk duduk di lembaga legislatif. Kita tidak memerlukan pencari kerja di lembaga legislatif. Sungguh mengherankan bila seseorang menggunakan ijazah paket C melamar untuk menjadi calon anggota dewan. Bila terpilih, kualitas dewan itu seperti apa? Bukankah anggota dewan, misalnya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, itu seorang pejabat yang akan bermitra dengan pemerintah daerah? Jika anggota DPRD Kabupaten belum punya pengalaman di dunia kerja, menduduki posisi strategis pada komisi tertentu di DPRD, bagaimana menanggapi suatu permasalahan bila tidak punya pengalaman, hikmat dan kebijaksanaan?"
Uraian panjang dari Sang Kakek membuat kami yang duduk di sana termangu. Beberapa orang muda mendekat, dan ikut pula dalam mendengar uraian sang kakek tentang pentingnya memilih orang yang tepat untuk duduk mewakili rakyat/masyarakat di lembaga legislatif.Â
Seseorang sarjana bukan serta-merta akan dapat langsung dipilih menjadi anggota legislatif. Bahkan seorang pensiunan Aparatur Sipil Negara yang kiranya telah "berjasa" pun belum dapat dipastikan terpilih.
Maka saran Sang Kakek pada para muda yang duduk di sekitarnya di bawah tenda mete kedukaan.
- Mari bekerja. Jangan bermimpi untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kalau baru selesai kuliah; atau kalau sedang pakai ijazah paket. Ijazah paket C yang kamu dapat tiba-tiba itu hasil kerja tidak beres. Itu cikal-bakal koruptif
- Mari menjadi diri sendiri. Jangan bermimpi untuk mensejahterakan kota atau kampungmu dengan menjadi anggota DPRD kalau kamu sendiri belum punya profesi apapun. Bagaimana kamu membuat kampungmu sejahtera bila kamu sendiri belum membuat dirimu sejahtera dengan profesi.
- Mari ukur diri. Jangan ukur diri dengan cara membandingkannya dengan orang lain. Kamu melihat orang lain dengan kacata mata negative campaign lalu kamulah yang paling benar dan baik.
- Bila politik bukan tempatmu, jangan paksakan diri berada di sana, sebeb bila kamu tidak berhasil meraih kursi itu dan telah diduduki oleh lawan atau kawan separtai, kamu akan stres. Kamu akan berada dalam kotak kesendirian tanpa sahabat.Â
- Bila politik merupakan pilihanmu, jangan baperan. Bersiaplah untuk menjadi petarung, bukan pecundang. Sportivitas dan fair play menjadi pegangan. Kejujuran mungkin dipertanyakan, namun butuh kesabaran pada mereka yang merindukan untuk tiba di ranah apa yang disebut upaya untuk mensejahterakan rakyat. Padahal,  lembaga legislatif bukanlah lembaga yang mensejahterakan, tetapi justru lembaga yang membuat peraturan, termasuk peraturan tentang anggaran, lalu mengawasinya Jadi siapakah anggota legislatif yang membuat masyarakat sejahtera?Â
Wao...Â
Saya ingat percakapan ini, petang ini saya urai dalam tulisan. Tentulah hal ini bukan pandangan yang sifatnya ilmiah, tetapi telah memberi pengetahuan pada kami yang duduk mete malam itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H