Sungguh sangat disayangkan, sampai pada titik di mana Yudas Iskariot mengajukan proposal untuk menjual minyak wangi, hasilnya untuk kepentingan umat/masyarakat, justru Sang Rabi bersikap dan berkata, "Biarkanlah dia, supaya ia melakukannya untuk hari penguburan-Ku. Sebab, orang miskin selalu ada bersama kamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama kamu."Â
Proposal Yudas Iskariot terpental. Gengsinya terciderai, maka langkah perburuan koin segera dimainkan.Â
Sang Rabi menjadi komoditi yang layak jual.  Mahal. Koin yang diterimanya akan sangat berarti. Gengsi dirinya akan naik kembali. Kaum elit sajalah yang dapat mengkapitalisasi proposal  yang ditawarkannya yakni menyerahkan Sang Guru dan ia menerima imbalannya. Jadilah demikian sesudah segala trik dan teknik komunikasi dibangun sampai pada titik di mana ia memberi tanda agar dengan mudah Sang Rabi Yesus ditangkap.
Sang Rabi Yesus ditangkap. Ia menerima perlakuan sebagai tersangka, terdakwa hingga terpidana mati. Hasutan dibangun oleh para dalang intelektual yang bersembunyi di balik kemegahan diri sebagai kaum elit, berkelas dan terpelajar. Mereka memainkan skenario dengan  rapih dan apik sehingga terpuaskan dan terbayar lunas ambisi mereka. Ambisi mereka yakni membunuh karakter para pengikut Sang Rabi Yesus dengan penghakiman pada-Nya. Semua itu diawali dengan apa yang zaman ini disebut politik uang.
Serangan Fajar sebagai Wujud Nyata Politik Uang
Pemilihan Umum 2024 baru saja berlangsung. Tensi emosi sosial politik belum reda. Cakrawala informasi menyebarkan data naik-turunnya angka-angka prosentase  yang diperoleh para kompetitor pada pesta demokrasi ini. Pesta masih berlangsung sampai klimaksnya pada saat pengumuman dari institusi resmi negara yang menyelenggarakan pemilihan umum, Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Simpang-siur dan gosip sehubungan dengan ada-tidaknya  politik uang  beredar di setiap kali pesta demokrasi yang lima tahunan.  Berbagai intrik dan trik digunakan untuk memuluskan politik uang, di antaranya dengan mengkapitalisasinya. Artinya, uang dikonversi ke dalam bentuk lain. Misalnya dengan pembagian sembako dan konsumsi sosialisasi. Anggaran yang disediakan untuk sosialisasi diri kepesertaan sebagai kompetitor dalam pesta demokrasi, dikonversi. Kompetitor tidak menghadiri sosialisasi, namun timnya berkunjung membawa bingkisan sembako di mana sebelumnya ada anggaran konsumsi yang sudah dikirimkan.Â
Cara ini terasa sukses. Mereka yang digerakkan dengan mengkapitalisasi politik uang ke dalam wujud barang dan tindakan, dapat menggeser nurani, akal sehat dan kebenaran yang hakiki. Maka, pada saat menuju bilik pencoblosan, ketiga hal itu diabaikan lalu mengedepankan aspek emosional dengan mengingat "jasa" yang telah diberikan oleh orang yang belum tentu dikenal.
Lihatlah bagaimana Yudas Iskariot memberi isyarat agar Gurunya ditangkap. Ciuman.Â
Jadi, orang-orang yang memberi koin kepada Yudas Iskariot tidak turun tangan. Mereka menggunakan "tangan" orang lain untuk menangkap Yesus. Orang yang akan menangkap Yesus justru tidak mengenal Yesus, sehingga Yudas Iskariot yang sebetulnya menjadi aktor rahasia, akhirnya harus muncul di hadapan gurunya. Ia memberi ciuman, lalu mundur.Â