Caranya, mereka akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk karyawan atau buruh. Mereka yang di-PHK tiada berdaya sekalipun serikat pekerja mengajak berdemo. Pemilik modal (kaum kapiltalis) tak terusik, karena mereka akan menyampaikan bahwa perusahaan sedang di ambang kepailitan.Â
Ketika semua kembali normal, kaum kapitalis segera bangkit dengan  modal besar, sementara pelaku UMKM tertatih bahkan tak dapat berbuat apa-apa. Masyarakat kelas bawah hendak menadahkan tangan kepada siapa? Pemerintah?Â
Tentu, pemerintah yang kepadanya tangan ditadahkan. Makan siang dan minum susu gratis menjadi jalan keluar, bukan?
Makanlah dan minumlah. Segarkanlah tubuh, kuatkan sel, otot dan tulang, dan bersiap-siaplah untuk menanggung hutang negara. Gratis ketika dilayankan kepaa masyarakat, tetapi tidakkah semua itu menggunakan anggaran negara (APBN)? Bukankah APBN menerima anggaran dari  pajak dan hutang?
Kembali ke topik, mungkinkah ada korelasi antara makan siang dan minum susu gratis dengan lompatan pengetahuan bila literasi digital hidup di zaman industri 4.0 menuju 5.0?
Dampak dari program makan siang dan minum susu gratis akan terlihat gerak gairah ekonomi masyarakat. Ya. Mampukah mereka kemudian membayar pajak secara tuntas agar negara tidak berhutang? Mampukah mereka memenuhi kebutuhan primer dan sekunder sementara kebutuhan pada zaman diditalisasi sudah termasuk ke dalam kebutuhan primer?
Sekolah manakah di Indonesia yang tidak akan tersentuh internet pada zaman industri 4.0? Saat ini satuan-satuan pendidikan telah sedang bergumul dengan jaringan internet dan listrik. Kaum pekerja kasar (misalnya, tukang kayu) tidak lagi 100% bekerja manual, tetapi daya dukung listrik tiada terhindarkan.Â
Pegiat UMKM butuh listrik dan jaringan internet ketika mereka mengharapkan aturan tentang jual-beli dalam jaringan perlu segera diterbitkan agar mereka dapat berkompetisi secara sehat di dalam jaringan. Dan masih banyak lagi kebermanfaatan jaringan listrik dan internet ketika merindukan lompatan dan bukan sekadar loncatan yang akan turun lagi ke tempat semula.
Serang Kompasianer bernama Yulius Roma Patandean menulis satu artikel yang mengiris emosi. Miris sekali melihat kondisi kaum guru pedesaan yang bergelut dengan jaringan internet untuk mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Guru (PPG). Mereka harus beranjak dari lembah ke bukit, membangun tenda sederhana ketika spot internet mereka dapatkan. Lalu selanjutnya mereka harus bergelut dengan cuaca dingin (sumber)
Bagaimana dengan daerah lain di Indonesia? Propinsi Kepulauan seperti Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain. Bagaimana pula dengan pulau-pulau besar yang penduduknya tersebar mulai dari perkotaan hingga pedesaan dan pedalaman, daerah pesisir hingga perbukitan dan pegunungan?