Semalam Pemulung Aksara bermimpi,
Dalam mimpinya, ia melihat tangan politik.
Tangan politik, tangan yang tegak lurus atas nama demokrasi
Tangan politik, tangan yang menunjuk lurus di alam merdeka beropini
Tangan politik, tangan yang menampar kejahatan dan maksiat politik
Tangan politik, tangan yang mengulik-ulik kedurhakaan janji politik
Tangan politik, tangan yang meluruskan taburan obrolan bibir manis
Tangan politik, tangan yang membelai kaum berwajah memelas
Tangan politik, tangan yang terulur pada kaum yang disebut-sebut akar rumput
Tangan politik, tangan yang memeluk dan menggendong kaum marginal
Tangan politik, tangan yang membawa kedamaian dan kesejahteraan.
Satu suara nun jauh bertanya,
Benarkah?
Benar! Benar! Benar!
Sungguh-sungguh, benar!
Siapa menyangsikan tangan politik?
Siapa meragukan  tangan politik terayunkan?
Satu suara nun jauh mengurai,
Di sana...
kaum berdasi necis merayakan kemewahan pada isi pundi-pundinya
kaum berpeci licin mengetalasekan kemegahan bunyi aksara ilahi
kaum berparlem memuja-muja ujaran kedaulatan menuju kemakmuran
kaum birokrat menata biro-biro berlekak-lekuk panjang lika-likunya
kaum aparatur kelas bawah mengekor pada norma tanpa saran dan kritik
kaum buruh berlari-larian memburu buruan untuk mengganjal lekuk ekonomi
kaum miskin-papa menyodorkan dan menadahkan tangan memohonkan belas kasih
kaum  terpinggirkan makin tergeserkan dalam ide geser dengan busurÂ
Satu suara mendekati daun telinga Pemulung Aksara,
ia berkata,