Ketika menulis artikel ini, saya teringat akan ibu/mama (puisi mama) yang mengandung dan melahirkan anak-anak di dalam rumah kami. Mama kami telah tiada sejak Mei 1992, dan papa kami menyusul pada April 2019. Â Rentang waktu yang cukup panjang antara kepergian mama dengan papa. Â Papa kami seakan berada dalam "kesendirian" hidup. (di sini). Kami memanggil ayah kami, papa dan ibu kami panggil, mama.
Kedua orang tua kami sudah tiada. Dua orang kakak kami pun sudah tiada. Â Sementara pada kami masing-masing telah membina keluarga dan rumah tangga sendiri. Anak-anak kami menyebut ba'i/opa dan nene/Oma hanya dengan melihat potret di dinding. Dalam keadaan yang demikian, kami bersedih sesaat.
***
Ketika Hari Ibu tiba mungkin setiap pasang suami-isteri akan saling berpandangan, lalu suami akan menyampaikan ucapan selamat dengan gaya yang khas suami. Cium pipi-kiri pipi kanan, atau cium hidung khas masyarakaat NTT. Entahlah itu dilakukan atau dilewatkan.
Kaum perempuan/kaum ibu di perkotaan mungkin merasakan dan menikmati suasana Hari Ibu, sebaliknya mereka yang berada di pedesaan, mungkinkah merasakannya? Mungkin ya, mungkin tidak. Kaum perempuan di pedesaan yang mayoritas turut serta dengan suami sebagai peladang, pesawah, petani sayuran dan lain-lain komuditas pertanian kiranya dapat dipastikan tidak sempat menikmati hari spesial yang disediakan negara pada mereka. Mereka akan sibuk di ladang, sawah atau area menanam sayur. Perempuan/Ibu menjadi sandaran ekonomi di samping suami. Demikian pula kaum perempuan/ibu di pesisir pantai sebagai nelayan. Mereka tidak melaut, tetapi  olahan hasil laut sebahagian jatuh ke tangan mereka. Kapan mereka akan duduk berefleksi pada hari ibu?
Sudah dalam pengetahuan umum bahwa Hari Ibu di Indonesia ditetapkan oleh Pemerintah NKRI dengan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Pada mulanya Pemerintah memberi makna pada hari istimewa untuk kaum perempuan di Indonesia yakni meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara  di mana perempuan Indonesia patut berperan di dalamnya. Maka, perempuan di Indonesia perlu memasuki dunia pendidikan agar memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kepakaran yang kiranya akan diberikan sebagai sumbangsih mereka kepada bangsa dan negara.
Hari Ibu bergeser maknanya menjadi "hari kasih sayang" suami dan anak-anak kepada isteri, mama/ibu. Pada mereka yang menyadari akan adanya hari ibu, keluarga itu akan membebaskan ibu/mama dari tanggung jawab domestik rumah tangga dalam durasi sehari saja. Ibu/mama tidak ke dapur, mencuci, menyapu, menyeteri, dan lain-lain urusan rumah tangga. Semoga demikian adanya.
***
Satu jemaat lokal di pedesaan / pedalaman Timor, dalam dua puluh tahun terakhir setiap tanggal 22 Desember, dipastikan ada perayaan/kebaktian Natal yang dikhususkan untuk kaum perempuan/ibu. Jemaat itu bernama GMIT Jemaat Pniel Tefneno' Koro'oto. Pada jemaat ini setiap tanggal 22 Desember selalu ada kebaktian Natal yang dipadukan dengan peringatan Hari Ibu.Â
Pada kebaktian Natal dimaksud, para pemimpinnya dari kalangan perempuan/ibu. Mereka akan membagi habis tugas tata ibadah, kecuali pada bagian yang khusus yakni khotbah. Khotbah disampaikan oleh seorang pendeta. Bila pendeta itu seorang laki-laki, tentulah tidak dapat ditukarkan. haha...