"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi  perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." (Ir. Soekarno)
Kata-kata sarat makna yang diucapkan Presiden Soekarno sebagaimana kutipan di atas selalu akan kembali terngiang pada setiap tahun peringatan Hari Pahlawan Nasional, 10 November. Kita ingat betapa perjuanan bangsa Indonesia khususnya yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945 itu. Bung Tomo mengobarkan api perlawanan melalui corong radio. Semua kaum di dalam kota Surabaya bangkit bermodalkan senjata apa adanya, bambu runcing. Bambu yang telah ditajamkan diikatkan bendera merah putih. Sang dwi warna menjadi roh yang menggelorakan semangat tanpa gentar. Kematian pun dijemput oleh para bunga bangsa. Mereka gugur di medan pertempuran yang melahirkan sejarah, Jembatan Merah.
Ketika orang mengingat dan menyanyikan Jembatan Merah, mungkinkah mereka mengetahui sejarah tergubahnya lagu ini oleh Gesang Martohartoni? Lagu ini digubah pada tahun 1943, dua tahun sebelum pecah pertempuran Surabaya. Imajinasi Gesang menembus masa oleh karena perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Seorang gadis yang merelakan kekasihnya pergi ke medan tempur. Sang kekasih tak pernah kembali. Suatu deskripsi yang luar biasa.
Sepuluh November 1945, hal sebagaimana dideskripsikan dalam lagu oleh Gesang itu benar-benar terjadi. Para prajurit dan pemuda Surabaya bangkit meneriakkan yel-yel Merdeka, Hidup atau Mati. Medan pertempuran menjadi saksi bisu meregangnya nyawa putra-putra bangsa sebagai kesuma bangsa. Darah mereka mengalir, dihisap oleh bumi pertiwi, tubuh yang kaku kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Mereka dipeluk erat, nama mereka dipatri bukan saja pada batu nisan, tapi juga pada prasasti hati kekasih-kekasih mereka yang merelakan kepergian itu untuk selama-lamanya.
...
Antara 1945 hingga 2023 sudah jauh ziarah bangsa ini mengisi kemerdekaan. Kemerdekaan yang didapuk sebagai pintu gerbang menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia yang cita-citanya tersurat amat jelas dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Mungkinkah sudah ada di antaranya yang terwujud?
Perwujudan atas cita-cita itu bagai fatamorgana, terlihat tak teraba dan tak terasakan secara parmanen. Mengapa? Tengoklah sejarah bangsa mulai dari perwujudan Konstitusi baik di zaman Orde Lama, Orde Baru dan Refomasi ini. Para pemimpin mempunyai jargon politis yang terasa tidak absurd, terasa hebat dalam kata di atas prasasti, terasa indah pada keterpilihan diksi, dan terlihat wujudnya yang berpotensi mengagumkan. Siapakah pengamat dan partai yang tidak mengkritisi tanpa solusi? Dapat saja ada kritikus tanpa solusi. Dapat pula menyertakan solusi.
Pembangunan berkelanjutan terus digalang oleh pemerintah NKRI di bawah Konstitusi yang telah diamandemen. Praktis hasil amandemen telah memberi perubahan pada praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam apa yang disebut sebagai tata negara.
Institusi yang disebut lembaga tertinggi dihapus dan disamakan semuanya menjadi lembaga tinggi negara dengan penambahan Mahkmamah Konstitusi, dan penghapusan Dewan Pertimbangan Agung, dan lain-lain sesuai hasil amandeman. Pemilihan pasangan Presiden/wakil presiden, pasangan gubernur/wakil gubernur, pasangan bupati/wakil bupati, pasangan walikota/wakil walikota dilaksanakan secara langsung oleh pemilih hak suara.
Lembaga-lembaga legislatif berperan pada pembentukan undang-undang bersama pemerintah (legislasi), pengawasan (controle), dan anggaran (budgeting). Mereka tidak lagi melaksanakan tugas memilih dan menempatkan orang terbaik pada aras nasional dan daerah.
Apakah semuanya itu telah berdampak pada kemerdekaan yang hakiki dan tiada lagi kolonialisme?