Frasa pembangunan manusia Indonesia yang unggul dan berkualitas, produktif dan berkepribadian. Pada frasa ini tersirat dunai pendidikan dengan segala permasalahan, tantangan, peluang, kekuatan dan kelemahannya. Tim Perumus visi, misi paslon Ganjar-Mahmud dipastikan terdiri dari para pakar pada bidangnya masing-masing, dan di antaranya para pemikir dan praktisi di dunia pendidikan.Â
Segala permasalahan di dunia pendidikan telah dirangkum dalam dua hal utama yang sudah disebutkan dalam pidato itu yaitu: akses pendidikan yang baik, guru dan kesejahteraannya.
Akses pendidikan yang ideal pada zaman akselerasi pembangunan berkelanjutan, menghadapi tantangan yang besar. Tantangan itu oleh Moh.Ali (sumber) menyebutkan adanya sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah dan bangsa ini. Katanya, tantangan yang dihadapi pembangunan pendidikan adalah menyediakan pelayanan pendidikan  yang berkualitas untuk meningkatkan jumlah proporsi penduduk yang menyelesaikan pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, menurunkan jumlah penduduk yang buta aksara, serta menurunkan kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup tinggi antarkelompok masyarakat, termasuk antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk perkotaan dan penduduk pedesaan, antara penduduk di wilayah maju dan tertinggal, dan antarjenis kelamin.
Menurut Ali, tantangan lain dalam pembangunan pendidikan yakni peningkatan kualitas dan relevansi termasuk mengurangi kualitas pendidikan antardaerah, antarjenis kelamin, antarpenduduk kaya dan miskin sehingga pembangunan pendidikan dapat berperan mendorong pembangunan nasional secara menyeluruh termasuk dalam mengembangkan kebanggaan kebangsaan... . Demikian tantangan yang dapat dicatat berdasarkan tulisan Moh Ali dalam bukunya Pendidikan untuk Pembangunan Nasional.Â
Jika akses pendidikan yang dimaksud dipersepsikan secara sederhana yakni infrastruktur pendidikan yakni bangunan-bangunan sekolah, maka hal ini menjadi nyata perbedaan yang menyolok antara wilayah perkotaan dengan perdesaan hingga pesisir pantai. Di kota-kota besar, telah terjadi seperti "liberalisasi pendidikan" sehingga terlihat gedung-gedung sekolah yang megah dan mewah, yang pada setiap tahun pelajaran berjejal-jejal calon pendaftar siswa baru. Sementara di wilayah perdesaan, gedung-gedung sekolah yang layak dapat dilihat secara kasat mata, didominasi bangunan darurat, semi parmanen hingga parmanen dengan kondisi tertentu.Â
Kita tidak menafikan tentang adanya bangunan sekolah di perdesaan yang cukup megah dan mewah, bila itu diasumsikan sebagai sekolah favorit. Lokaasinya dipastikan akan berada di kota kecamatan atau kota yang sedang berkembang pesat secara ekonomi. Pada pusat-pusat ekonomi yang pergerakannya cepat, di sana dibangunlah sekolah-sekolah yang cukup representatif yang menggambarkan "kemegahan dan kemewahan". Lalu, daya tampung yang cukup untuk menampung siswa pada setiap tahun pelajaran.
Sementara itu makin ke belakang, di desa-desa hingga dusun-dusun di mana ada ada unit-unit sekolah, kiranya bangunan sekolah belum dapat disebutkan sebagai telah respresntatif. Para guru dan siswa akan berjibaku dengan panas, angin, hujan atau akses jalan menuju ke sekolah yang berdebu pada musim kemarau, dan becek di musim penghujan. Belum lagi mendaftarkan masalah jaringan listrik dan belum perlu menggubris jaringan internet.
Di perkotaan terjadi liberalisasi pendidikan di mana para "pengusaha lembaga pendidikan" bagai berkompetisi dalam mendirikan sekolah-sekolah unggulan. Sekolah-sekolah unggulan menawarkan tampilan dan isi muatan pembelajaran yang ditunjang guru profesional yang terjamin kesejahteraannya. Siswa akan mendapat berbagai fasilitas yang "memanjakan" dan membangkitkan kreativitas dan inovasi. Maka, tidak mengherankan bila pendidikan di perkotaan telah bergerak  menjauhi mereka yang berada di perdesaan.
Dunia pendidikan di pedesaan dan pesisir pantai tak mau ketinggalan untuk bergerak maju. Daya gerak majunya bagai suatu konstanta belaka, belum dapat maju, tidak juga mau mundur. Bangunan darurat atau semi parmanen, atau parmanen dengan kondisi kerusakan, kekurangan tenaga guru profesional, dominasi guru honorer dengan upah sebisanya, dan sejumlah hal lainnya sering menjadi alasan stagnansi.
Kita belum merambah pulau-pulau kecil, terluar dan terdepan. Mungkinkah sama serupa dan sebangun dengan wilayah pedesaan atau semiperkotaan?
Kita mengetahui bahwa pulau terluar dan terdepan, manalagi bila terdepan sebagai wajah Indonesia di depan negara tetangga, akselerasi pembangunan termasuk pendidikan sangat diprioritaskan.Â