Apakah ASN di semua lini pelayanan publik tidak melaksanakan peraturan tersebut? Tidak! Justru sebaliknya para ASN ikut secara tidak langsung menaikkan pendapatan masyarakat, menggeliatkan dan menumbuhkan sentra-sentra produksi tenun ikat.
"Saya sangat bangga memakai pakaian adat ke kantor. Ini bagian dari upaya menumbuhkan kecintaan kita terhadap busana adat NTT yang beragam. Ini kekayaan serta warisan leluhur yang harus terus dilestarikan sampai kapanpun,” kata seorang ASN di lingkungan Dinas PUPR Provinsi NTT (sumber)
Merujuk pernyataan di atas, kesimpulan sementara yang dapat ditarik yakni, pemakaian pakaian tradisional/pakaian adat di kantor-kantor pemerintah tidak mengganggu pelayanan publik. Justru di sana ada nilai tambah dari beberapa aspek seperti yang sudah disebutkan, yakni: aspek ekonomi dan aspek sosial.
Pada aspek ekonomi, terjadi geliat ekonomi di mana anggota masyarakat baik individu maupun institusi (kelompok, kampung tenun ikat) tumbuh di mana-mana. Sentra produksi dan penjualan kain tenun meningkat. Kreativitas lahir untuk memodifikasi variasi model pakaian agar menarik dan memiliki daya saing makin bertambah.
Julie Laiskodat, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah Nusa Tenggara Timur dapat disebutkan telah sukses mengantarkan pakaian tradisional/pakaian adata Nusa Tenggara Timur "naik" kelas ke pentas dunia internasional. (sumber).
Presiden NKRI, Ir. Joko Widodo bahkan secara tidak langsung menjadi "pengiklan" bagi produksi pakaian tradisional/pakaian adat untuk seluruh masyarakat di Indonesia. Nusa Tenggara Timur mendapat jatah 2 kali dimana Sang Presiden mengenakan pakaian dari etnis Sabu dan Timor (TTS). Suatu kehormatan dan kebanggaan pada masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Kini, Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia Kalake mulai "beraksi". Ia memunculkan kebijakan pertama yang meniadakan kebijakan sebelumnya terkait pemakaian pakaian adat/tradisonal oleh ASN di kantor. Menurutnya, ada aturan yang ditentukan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, khususnya Permendagri Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pakaian Dinas ASN di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Daerah.
Bahwa dalam Permendagri tersebut diatur tentang tata berpakaian sehingga rasanya tidak ada celah atau ruang agar pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, Kota menentukan sendiri pakaian pada wilayah kerja dan pelayanannya. Tetapi, yang terjadi di daerah-daerah, seperti Nusa Tenggara Timur, Gubernur sebelumnya, Victor Bungtilu Laiskodat (VBL) sukses mengangkat "martabat" pakaian tradisional/adat.
Penjabat Gubernut NTT, Ayodhia Kalake rupanya ingin agar pakaian untuk ASN itu yang normal-normal saja. Kebiasaan yang sudah ada sejak 2019 - 2023 ini terasa tidak tepat pada kurang lebih satu tahun ke depan. Oleh karena pada satu tahun ke dapan, para ASN harus bergerak cepat, tanpa halangan pakaian dalam rangka pelayanan kepada publik Nusa Tenggara Timur.
Pakaian tradisional/adat yang sudah "naik kelas" ini cukup sampai di situ. Ia tidak turun lagi, oleh karena masyarakat sudah mengantarnya sampai di titik itu bersama-sama dengan VBL. VBL telah pergi, ia tidak lagi mengenakan pakaian itu. Mengapa pula ASN mengenakannya?