Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Sang Filsuf

3 Agustus 2023   08:42 Diperbarui: 3 Agustus 2023   08:56 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Sumber: https://open.spotify.com/

Hari itu langit menggemuruh lagi mengguntur, awan berderak-derak dalam barisan hancur secara amat cepat, menggumpal dan menghitam. Dari dalamnya keluarlah kilat yang saling silang memotong halangan di depan matanya. Tiap kilatan ingin segera terbebas dari bingkai dan bungkusan gelapnya gemawan. Gemuruh tiada diam. Sambung-menyambung guruh mengemuruh dan mengguntur. 

Pepohonan di dalam kawasan hutan primer dan sekunder menggugurkan daun-daunnya. Pepohonan tertentu sajalah yang masih tegak berdiri menggeleng-geleng ketika guguran menimpa cabang besar dan batang-batang mereka. Rerumputan di padang bergoyang-goyang hingga terlihat di sana ada yang merunduk bagai sedang berduka, namun ada pula yang mendongak tegak menebar bunga-bunga rerumputan yang membawa pesan ketimpangan alam semesta.

Seekor semut raksasa berlari kencang ke dalam liangnya membawa kabar pada kaumnya bahwa telah terjadi kemerosotan akhlak pada kaum berakhlak yang menyembah Tuhan dan menjunjung harkat manusia pada tempatnya. Sementara raja rimba berdiri mendongak mewakili mereka yang berkaki empat. Buaya menjulurkan kepalanya di bibir hilir sungai, dan rajawali bertengger di dahan tertinggi pada puncak bukit yang paling mudah di pemandangan.

Baca juga: Guru Agen Perubahan

"Bajingan tolol!" ... . "Bajingan tolol!" ... ... ... ... !

Frasa ini menggema yang disambut langit, awan, kilat, guruh, pepohonan, padang, binatang hutan dan hewan peliharaan. Isi alam semesta bergetar. Kilat dan guntung mengirim petir dengan pesan tak boleh melukai dan menciderai. Dedaunan mengirim buah kering dan biji-bijian keras dengan Ekosistem mereka bagai saling mendekat agar dapat mengetahui secara pasti mengapa frasa itu terucapkan dari orang yang dijunjung dengan predikat filsuf zaman edan ini. 

"Wah... ada filsuf bersuara lantang. Setiap hari wajahnya ditampilkan di layar publik dalam varian media zaman edan. Pernyataan-pernyataannya pedas, mencengangkan, membingungkan, mencemaskan, mengganggu kenyamanan, keamanan dan ketertiban." seorang kakek memulai percakapan di bawah pohon besar yang rindang. Ia duduk dengan beberapa sahabatnya menikmati mamahan sirih, pinang, yang dicampur kapur. Bibir dan rona wajah mereka memerah. Ludah berwarna merah sebagai limbah dari mulut dilepas di "arena sekitar mereka duduk. Dua di antara mereka menggunakan lesung-alu yang khusus dan khas untuk menghaluskan pinang dan sirih sebelum tiba di rongga mulut. Ya, begitulah cara untuk mendapatkan mamahan pada mereka yang sudah kehilangan alat pengerat dan penghalus di dalam rongga mulut.

Sepasang merpati duduk di dahan pohon itu tanpa gangguan. Mereka sedang bercengkrama dengan saling mematuk. Tiada suara keras dari keduanya yang menggambarkan ketidaknyamanan. Pasangan merpati terus menikmati ketulusan cinta mereka. Angin membelai bulu-bulu badan keduanya sebagai aksesori cinta itu. Dedaunan berwarna hijau muda, hijau tua, kuning, bunga dan buah pada pohon itu mendekorasi dan membingkai kisah percintaan keduanya.

"Jika seseorang disebut filsuf, ia dipastikan memiliki pengetahuan yang luas, memahamai secara luas pula apa itu kebijaksanaan dan mewujukannya dalam cinta." sambung kakek yang sedang memadukan lesung-alu bertalu untuk menghaluskan buah pinang dan batang sirih. Ia memandang kepada sahabatnya yang sudah memberikan pernyataan sebelumnya. Keduanya saling memandang, sementara tiga sahabat lainnya masih melongo entah akan memberi opini.

Ketiganya ingat pernyataan yang muncul di publik ketika filsuf yang mengaku mengetahui banyak akar permasalahan di nagari berkepulauan dengan kemajemukan tiada bandingnya. Sang filsuf dalam banyak kesempatan yang didapatkannya selalu menguraikan berbagai permasalahan nagari. Publik terkesima akan mainan aksaranya. Tiada masalah yang lolos dari pantauannya, termasuk sikap dan bahkan gestur individu pemimpin-pemimpin nagari. Rasanya sang filsuf telah masuk-keluar dari benak tiap individu tiap orang yang disasar mulut besarnya.

"Filsuf patut menunjukkan kebijaksanaan dan cinta. Kebijaksanaan ditunjukkan bukan dengan ujaran berintrik dan tendensius. Kebijaksanaan patutlah menyegarkan dan menyamankan kaum. Kebijaksanaan berisikan cinta. Cinta kepada umat manusia, alam semesta dan Sang Khalik." kakek kedua berkata sambil melumat mamahan. Ia menengadah, memandang pada pasangan merpati yang masih bertengger di dahan pohon itu.

Kelima kakek masih duduk di sana. Mereka menikmati rindangnya pohon besar itu. Angin sepoi memainkan dedaunan dan rerantingannya. Di seputaran pohn ada rerumputan tumbuh di sana berjarak-jarak. Batang-batang rerumputan menari dalam desing sayup bayu yang bermain-main bersama mereka. Beberapa ekor kumbang turun di bebungaan semak-semak. Mereka mengambil madu dan kembali ke sarangnya yang jauh dari jangkauan rabaan dan rogohan.

"Pengecut ... sudah bajingan pengecut pula... ! Kembali pernyataan ini mengiang-ngiang di telinga kelima kakek-kakek itu. Wajah mereka memerah. Hendak menggeram, rasanya tidak perlu berhubung gigi mereka mulai berkurang, tetapi gestur menunjukkan kekecewaan dan emosi. 

Seorang di antara kelima kakek mengambil android. Rupanya Sang Kakek Gaul yang uzur pun mengikuti tren zaman. Ia memanfaatkan produk teknologi dengan berbagai varian tools. Ia membuka android dan menggunakan mesin pencari. Berita-berita seputar kecemasan publik dibacakan dengan suara lantang. Keempat sahabatnya mendengarkan sambil termangu-mangu.

"Laporan sudah kami layangkan. Kami sungguh berharap pihak yang memahami pasal dan ayat undang-undang dapat melakukan proses pada Sang Filsuf. Ia telah melecehkan kepemimpinan nasional!" Sepenggal video diperdengarkan oleh Sang Kakek Gaul. Mereka kembali dalam keheningan. Apa daya mereka sebagai kakek-kakek di pedesaan. Sementara keheningan berlangsung, Kakek Gaul menggosok-gosok layar android. Ia menemukan video lain yang menarik. Volume android ditekan untuk makin keras sampai ke telinga para sahabatnya.

"Mereka tidak paham kritik. Aku mengkritisi kebijakan sehingga tidak menyerang personal!" suara itu terdengar jelas oleh kelima kakek.

"Rasanya Sang Filsuf keliru. Dia lupa atau salah ingat bahwa jabatan itu disandang oleh seseorang. Jabatan tidak dilekatkan pada gedung dan graha. Jabatan dilekatkan pada individu setelah memenuhi segala kriteria bahkan kriteria tersulit sehingga ia bagai masuk melalui lubang jarum. Jadi, ketika dia memaki jabatan, pada saat itu dia menghina orangnya sekaligus." Demikian opini yang agak panjang dari Kakek Gaul. Kakek Gaul mengikuti perkembangan informasi setiap saat. 

Nagari kepulauan kini sedang ada dalam kegemasan. Gemas dan cemas berpadu dalam rasa. Hukum bagai tak berkutik berhadapan dengan Sang Filsuf. Bila komunitas menggelar demonstrasi, negara harus menguras isi pundi-pundi untuk menata dan mengatur keamanan dan ketertiban. Bila tiada demonstrasi, Sang Filsuf makin menjadi-jadi. 

Kakek Gaul mendapati dalam androidnya jejeran balasan pada Sang Filsuf. Kini, Sang Filsuf yang dijunjung dan diagungkan sedang berada dalam posisi off side. Publik nagari kepulauan tak melakukan pinalti secara utuh sempurna padanya. Publik berteriak dalam goresan berwarna-warni pada dinding-dinding media sosial dan kanal aplikasi. 

Mereka yang berdiri mengitari Sang Filsuf membisu. Mulut dan mulut mereka dipalingkan ke arah kekonyolan menanti datangnya nutrisi baru yang menghidupkan. Sang Filsuf mulai layu, sementara kanal penyalur nutrisi merayap agar tak mengesankan motivasi. 

Wahai sahabat, Tersenyumlah

Umi Nii Baki-Koro'oto, 3 Agustus 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun