Teng ... ... ... . Teng ... ... ... . Teng ... ... . Bunyi lonceng dari kelenteng dusun
Teng... teng teng... ... ... . Teng... teng teng... ... ... .Teng... teng teng... ... ... . Bunyi lonceng dari gereja kampung.
Dug ... dug... dug... dug... dug... dug... dug... dug... dug... dug... dug... . Bunyi bedug dari surau desa.
Jenis bunyi-bunyian yang memberi marka jelas pada mereka yang mendengarkannya. Pendengarnya yang taat dan saleh akan bergegas menyiapkan diri. Mereka yang merasa alim membungkus tubuh dengan busana religius kebesaran dan kehormatan. Ketika tiba di ruang pemujaan, mereka mengambil posisi dalam formasi paling depan. Martabat insan individu dietalasekan sedemikian rupa agar mendapatkan pujian dari ratusan hingga ribuan pasang mata. Mereka yang taat dan saleh menampakkan kebiasaan hidup yang santun dan bermartabat agamawi dan berperikemanusiaan.
Lembar-lembar dari kitab-kitab suci berbarengan terbuka. Ayat-ayat suci dibaca secara diam, bersuara dalam ruang hingga nyaring dalam gema mengangkasa. Ayat-ayat suci yang dibaca secara diam rupanya hendak langsung direkateratkan di hati, lalu perwujudan sikap dan karakter entah perlu menjadi tanda tanya sebagai dapat diwujudkan atau sekadar polesan keteraturan semu. Mereka yang membaca bersuara, terdengar di sekitarnya dan gendang telinganya sendiri. Perintah dan larangan, nasihat dan peringatan menjadi makanan dan minuman kesegaran roh, namun dapatkah kefanaan raga menyebar kesantunan dan kenyamanan? Mereka yang membaca nyaring dalam gema mengangkasa, bagi dirinya terasa kurang prioritas berhubung yang menjadi sasaran yakni ribuan lubang telinga di ruang publik. Gema sendu hingga gaung menggelegar ayat-ayat kitab suci, menggoyang rasa pada kekudusan segelincir orang yang mengantar mereka tiba di altar praktik berkarakter agamawi.Â
Khotbah, wejangan, motivasi dan peringatan tentang kehidupan bersama mengalun membangkitkan bulu kuduk, walau di antaranya mendesirkan darah hingga tubuh terasa hangat. Terasa pula di sana fatwa penyanjung kesucian hingga menebar sanksi pemberat pada kaum pecundang ayat fatwa bertuah. Romantisme religius sungguh suatu kenikmatan dan kemunafikan dalam satu bauran yang menghasilkan ketercengangan insan individu dalam komunitas.
Pada ruang-ruang publik, khotbah, wejangan dan ceramah religi mengantar rona kemerdekaan ujaran tanpa kesalahan dan kekhilafan. Jika di sana diperdengarkan ujaran kebencian dan penistaan, siapakah yang akan menangkap dan membelenggul? Tiada ada kemudahan dan celah berhubung kedurjanaan dan kedurhakaan patut dan layak untuk dinistakan melalui corong keagamaan. Moralitas hendak dijunjung dengan penguasaan ayat-ayat suci, sementara kemunafikan menjadi busana, dan lipstik kesalehan berlapis-lapis di bibir.Â
Rumah-rumah dan gedung peribadahan megah dan mewah, semuanya memagari kota dan kampung, pemukiman hingga rada pemakaman pun tumbuh rumah pemujaan. Semakin luas dan tinggi bangunan dibuatkan untuk menampung umat, polesan padanya pun makin menaikkan gengsi dan martabat bangunan. Umat yang merasa memilikinya pun makin naik dan dijunjung kehormatan sebagai orang berkarakter agamais.Â
Asumsi kaum atheis, tampilan yang demikian hendak menggambarkan kemegahan dan kemewahan iman. Junjungan mulia pada Sang Khalik malak, makhluk dan alam di manakah wilayahnya. Â Sungguh benarkah?Â