"Rupanya bangunan-bangunan megah dan mewah yang tumbuh dari pemusatan populasi manusia hingga pelosok telah menjadikan penghuninya orang-orang saleh yang makin merapat pada tuhan masing-masing. Agama yang satu mengklaim tuhannya yang sempurna, agama berikutnya memasang para apologist. Pemuka agama terdidik berdakwah mengharapkan hidayah jatuh pada mereka yang bukan pengikutnya. Para apologist makin mengeraskan gema pembelaan. Bisik-bisik dalam ruang senyap sambil menggeser dupa agar aroma yang di dalamnya sampai kepada roh yang disebutkan namanya."
Di sudut pelosok kaum senyapan merayap dalam keyakinan purba milik dan warisan kaum arif kuno. Nagari mengakuinya hanya sebatas keyakinan semu berisi kebudayaan. Tak ada panduan dari kitab suci. Kata pemimpinlah sebagai sabda yang membangun kehidupan bersama, menjunjung langit dan bumi, alam bawah hingga roh keilahian nirwana. Sewaktu-waktu dipersekusi, pada kesempatan lain dicurigai sebagai penyesatan di dalam ajaran dan dogma. Â
Di relung dan ruang sempit mayapada kebijaksanaan, pemegang palu eksekusi tak jua menetakkannya. Ia justru membuka genggaman agar palu terlepas lalu menggunakan alat tulis saja. Alat tulis berwarna-warni yang berada di tangannya tak segera pula menggaris untuk memberi goresan bermakna perizinan. Ia mendiamkan jemarinya hingga kaku tanpa daya. Mulutnya membaca mantra kebijaksanaan agar memastikan bahwa kelak akan ... .
Palu eksekusi tergeletak di meja. Segelincir umat berbaris dalam gertak gigi sambil meneriakkan yel yel kemenangan dan kepongahan. Â Sebahagian kecil lainnya menunduk dalam doa sambil menadahkan air mata.Â
"Di manakah Pancasila?" seseorang berteriak lantang di tengah kebisingan yel yel kepongahan.
"Halo negara, hadirlah!" seseorang lain menyapa di antara kaum yang berdoa sambil menangis.
Api berkobar-kobar menghanguskan rumah ibadah. Ayat-ayat suci diperdengarkan saat nyala api menyambar-nyambar bentangan cakrawala. Asap menggumpal dan mengawan bergegas naik, naik dan naik mengangkasa. Di sana gumapalannya menebar rintik berpotensi serba sakit. Rumah ibadah roboh, iman tetap kokoh. Penyulut api kekeuh di balik kesalehannya.
"Hak azasi manusia harus ditegakkan. Demokrasi harus diwujudnyaakan. Kebebasan berekspresi tak dapat dihalangrintangi. Maka, tiada dapat individu dan kelompok meradang!" Teriakan ini lahir dari podium HAM, Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi.
Ketiganya berteriak lantang setiap saat. Memeluk agama bukan faktor genealogis. Memilih agama milik individu. Maka, tiadalah orang boleh mematikan karakter ketika insan telah menjatuhkan pilihan. Itu kebebasan. Beri ruang demokrasi padanya, dan biarkan dia mewujudkan hak azasinya.
"Tidak! Tidak! Tidak! Umat manusia harus satu agamanya. Dari sana kita akan menjadi penghuni sorga yang disediakan Sang Khalik. Ingatlah, bahwasanya di sorga telah ada penghuni mayoritas penganut datang dari mayapada yang disatukan dalam nagari kepulauan." Kumandang narasi lelucon ini keluar dari bibir kaum saleh berbusana kealiman.
Lusifer berdiri di kejauhan dalam remang-remang.