Malam makin larut. Ufuk makin suram tak menunjukkan senyum manisnya. Tradisi Kejora melesungkan pipinya pun tak terlihat. Semuanya hening, lantas menyisakan bebunyian dari gesekan tukang kayu yang menggunakan mesin pelicin permukaan kayu. Malam makin larut, mesin itu terus menderu. Jangkrik terpaksa membisu sementara tikus-tikus got menyelinap ke dalam liang masing-masing.
Serangkaian cerita hendak dibeberkan oleh Gemintang. Ya, sekalipun matanya suram, ia mencoba memicingkannya sedemikian rupa untuk dapat melihat dan menyaksikan apa yang terjadi di mayapada. Jagad mayapada pada hari-hari ini dipenuhi cerita keperkasaan, kegundahgulanaan hingga kemerosotan akhlak.
Gemintang memulainya dengan menyampaikan bahwa telah ada sejumlah sabda menggema di bawah tiang pancang tertinggi di ibukota nagari. Tiang pancang tertinggi itu menjunjung api nan tak kunjung padam. Api berkilau emas itu tak  akan padam selama nagari memangku dan menyuapi kaum.
Di bawah tiang pancang tertinggi nagari itu ragam kisah telah terburai. Ada pekik nyaring menggelegar. Ada tempik sorak kecengesan. Ada kaum saleh bermartabat menggelindingkan fatwa kecemasan atas nama penistaan dan penghinaan. Di sana oknum menjajal ajian kedigdayaan dengan menegangkan urat leher. Kaki-kaki hendak melakukan upaya penjegalan hingga mewajibkan tubuh merayap. Tangan-tangan teracung dan mengepal. Kepalan-kepalan itu hendak meninju langit yang bertebaran gemawan dan gemintang. Padahal rembulan yang dekat pun tak dapat ditinju oleh sepuluh kepalan terpanjang dan terkuat.
Gemintang malam ini sedang suram, namun rindu bercerita tentang kecurangan di tiang pancang tertinggi ibukota nagari. Di sana janji-janji hingga nazar digemakan. Janji dan nazar diteriakkan dengan kepalan tinju, kaki terpasang kuat bagai kuda-kuda penegak tiang penyangga. Jutaan telinga menyimak dan sanubari menyimpan dengan harapan kelak akan terpenuhi.
Suatu kejutan terlewati, manakala janji dan nazar dihembuskan angin senja. Saat itu fatamorgana pun malu menampakkan diri lalu memberi sinyal dengan kerlap-kerlip belaka. Fatamorgana pergi ketika dikejar, ia tak dapat digapai sebagaimana nazar tak dapat dibentuk bahkan oleh seniman pahat. Seniman pahat menggeleng-gelengkan kepalanya manakala gema nazar menggelinding merayapi daun telinganya.
"Geli!" demikian ia mengujar pada dirinya sendiri.
"Wahai gelombang insan pemuja kepongahan! Aku bernazar akan menggunakan kedua kakiku ini untuk menapaki jalan terpanjang yang pernah dibangun Daendels. Siapakah seperti aku? Aku akan memenuhi nazarku, bila kepongahanmu jatuh dalam lobang memalukan!"
Gelegarlah gelombang insan. Jagad raya dan cakrawala merunduk sambil mengesampingkan pendengaran agar lebih jelas terdengar. Sungguh disayangkan, gelegar suara nazar itu telah pergi. Jagad dan Cakrawala hendak mengejar, Bayu berbalik dan menebar senyum pada keduanya.
"Tunggulah pada media arus utama Tuan Jagad dan Cakrawala. Pastikan akan ditulis dengan tinta emas, dibacakan dengan suara lantang. Akan dibahas dalam dunia polemik yang argumentatif, provokatif, defensif dan agresif." Bayu menyampaikan pesan sambil terus membawa nada dentingan nazar hingga tiba di pangkuan Fatamorgana yang sedang tersipu malu.
Senja menyela, "Wahai Jagad dan Cakrawala. Tidak tahukah kamu bahwa dunia medsos sedang menggila? Kepopuleran sosok di medsos jauh melebihi media arus utama. Tak perlulah untuk proses sunting dan sidang redaksi."
Benarlah demikian.Â
Gemintang kembali dalam kesuraman rasa. Guratan pada wajahnya terus mengalirkan aksara penuh cerita berangkai.
Sepatu raksasa dipolemikkan. Bambu berangkai-rangkai karya seniman kocak dibongkar. Sungai dengan aliran air berlendir dalam corak warna menarik nian. Alirannya mengular sepanjang garis-garis kehidupan kota. Kaum perkotaan tetap mampu hidup di sepanjang aliran sungai berlendir sambil melepas penat dan hajat.
Pemukiman bukan digusur tetapi digeser. Ya, digeser ke tempat yang lebih nyaman. Menggesernya dengan cara membongkar agar memudahkan cara menggeser. Ketika tiba di tempat nyaman, berdirilah bangunan mewah yang mendulang harapan untuk masa depan. Sementara pencaharian untuk pendulangan itu makin jauh.
Di bibir bangunan raksasa berdaya tampung nyaris ratusan ribu orang, berdiri kaum margin memegang spandung bertuliskan:
KAMI MENAGIH JANJI MANISMU, TUANÂ
"Aku telah memberikan semuanya padamu. Kata dan akta telah kutorehkan dalam kota. Di kotamu, kota kita bersama, hidup makin nyaman. Kutinggalkan prasasti megah dan kamu tak mengetahuinya?" Begitulah pernyataan dalam nada tanya dari Sang Tuan.
Gemintang Suram menyaksikan. Ia tetap membisu. Dalam kebisuan itu ia menyimpan kisah pada guratan wajahnya. Aksara tipis ditilikkan menjadi ilham perupa makna.
Malam makin larut. Sebarisan bintang kecil berkeriapan mengelilingi Gemintang Suram. Lalu kisahnya pun dilanjutkan.
Para abdi paranormal telah meramalkan tentang satu hari istimewa. Irama gempita istana akan diselipkan dalam kebisingan kota-kota dalam nagari. Irama itu telah diketahui nadanya, namun tak kunjung jua tiba pada hari yang menjadi kebiasaan.Â
Lantas kebiasaan itu diganti. Entah bagai binatang merayap yang mengganti kulitnya agar makin mengkilap. Lidahnya dijulurkan memberi tanda mempermalukan abdi paranormal. Mereka tersipu-sipu manakala hari yang dipatok benama Rabun menjadi Isnen.Â
Buku-buku primbon dibuka. Tiap lembar primbon menggugurkan barisan frasa. Frasa-frasa ramalan yang pongah berguguran. Sementara di ujung dan sudut buku diam membisu kelompok Gemetaran Gelisah. Mereka mengulur tangan maya hingga lelah dan jatuh terkulai. Saat itu tangan maya ditadahkan agar kepadanya dituangkan asa keberkahan. Kini, tangan maya lunglai, kembali kepada tuannya, entah akan dilipat atau digandeng-gandengkan dengan tangan-tangan lainnya untuk menguatkannya kembali.
Istana meresmikan beberapa Punggawa dalam jabatan idaman insan. Pemain lama menarik napas dalam-dalam lalu duduk di bangku bukan cadangan. Pemain baru mempercepat langkah memasuki lapangan secara berbarengan.
"Ingatlah! Hati-hati! Kita butuh kerja cepat dan tepat! Jangan main-main! Kutugaskan lebih detil sesudah ini!" Demikian Titah Punggawa Superior dengan lantunan menggetar dada.
Penonton tersenyum dan bertepuk tangan. Tiada kursi empuk untuk diduduki bokong lemah. Semua berbaris rapih dan indah. Betis-betis teguh ketika tangan diayun-ayunkan untuk saling memberi salam. Tembok membisu sambil membingkai kisahnya sendiri. Ia tak dapat menengadah untuk mengerlingkan matanya pada Gemintang Suram walau malam telah mengantar kesepian di sekitar perapian.
Gemintang Suram telah lelah. Ia akan segera menuju peraduannya.
Selamat tidur kawan-kawan.
Tidurlah dengan membawa senyum.
Tersenyumlah!
Umi Nii Baki-Koro'oto, 17 Juli 2023Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H