Sekonyong-konyong kaum berkemenangan dalam keagungan membisu. Diam. Mulut mereka telah dikatupkan. Bila hendak mengatakan sesuatu rasanya lebih baik menggunakan bahasa tubuh. Gestur. Bola mata yang berbinar kini redup. Mereka semuanya telah redup. Tangan yang teracung pada tahun-tahun keagungan, perlahan diturunkan. Lunglai.
Sahabat terbaik telah mengemas diri dalal ruang kerangkeng. Sahabat yang mengayomi dan menyalami setiap kesempatan dalam ruang-ruang keanggunan frasa. Frasa-frasa itu mengandung motivasi gerak maju. Semangat menggelora. Abu nae... awan berderak saat gema frasa menggulung mereka di angkasa. Gemintang dan rembulan menjadi aksesori di panggung malam keceriaan. Surya di kala fajar memerahronakan rupa berpentas rupawan. Mentari di kala senja mengantar ragam kenangan dalam kemasan di laci dan lorong tikus.Â
Tahun-tahun kegemilangan menjadikan Sahabat terbaik sebagai pionir, patriot dan pahlawan pada kelompok dan golongan mereka. Hingga tiba-tiba harus menanggung malu dalam kolam pergerakan politiknya. Ujaran yang menegaskan ketidaktahuan, bersih badan hingga bersih berkas tanpa bekas kecuali bekas karya yang sedang jongkok. Frasa motivasi bergeser menjadi akta apologi yang membentengi diri. Sayangnya, jarum-jarum kaidah, asas dan siasat menembus benteng aplogi itu.
Keputusan para pengadil tak dapat dibantah, bahkan mahkamah tertinggi pun telah memvonis. Gema palu di ruang pengadilan menggema hingga ruang kerangkeng. Udara mengantar getaran itu yang menandakan seseorang akan segera tiba di sana. Pintu berlapisan jeruji berderak membuka diri dan segera menerima Pionir, Patriot dan Pahlawan yang kini menjadi Pecundang.
Lapisan hari-hari saling bertindihan dan mengubur satu dengan yang lainnya. Nama-nama mereka tetap sama saja, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu. Hari-hari itu saling bertindisan dalam hitungan minggu, bulan dan tahun. Sederet tahun pun telah berhimpitan mengintip masa lalu. Pada saat yang demikian Sang Pecundang pun tiba di alam terbuka.
"Aku akan segera kembali ke kubangan ragam rasa. Ekosistemku di sana. Aku telah diluluri ilmu kedigdayaan nan mandraguna pada masa lampau, dan jati diriku tetap adanya. Â Upaya melucutinya? Gagal. Â Aku tetap berada pada jati diri ini, mereka yang melucutiku tiada dapat menghabisi irama jiwa dan ragaku. Rohku akan terus berada di garis depan kubangan ragam rasa itu. Di sana aku akan menggemakan kembali frasa-frasa anggun nan agung untuk menumbuhkan tunas-tunas baru."Â
Khotbah berirama fatwa pertama telah sampai menggetarkan daun dan gendang telinga, darah pun telah mendesir menghangatkan raga dan menggoyangbangunkan roh kawanan dalam kelompok dan golongan itu.
Kawanan dalam kelompok dan golongan lain duduk di pinggir  kubangan ragam rasa.  Pinggiran dengan permukaan tak semulus ide dan inspirasi. Mereka menanti gerak tangan akankah dikepal atau jemari akan menunjuk? Mereka duduk sambil memasang rancangan konsep renyah yang dapat memuluskan langkah bila kepalan ditumbukkan, atau jemari menunjuk-nunjuk.
Satu dua kelompok dan golongan tanpa dosa memasang telinga. Semoga ada intrik terjual. Mata spionas dilirik-lirikkan. Siapa menduga jika akan sempat melihat pemandangan faktual baru dari aset lama yang disegarkan?
Kubangan itu sebagai kolam ragam rasa. Kaum mana pun dapat terjun ke sana untuk mandi dan melumuri diri dengan bubuk penyedap rasa, raga dan roh. Ketika gagal dalam intrik menghadapi riak ombak yang diciptakan seteru, bersiaplah untuk hengkang atau justru akan dikerangkeng.
Mereka semua sebagai kelompok dan golongan akan seiring dalam perjalanan menuju nagari bermartabat. Dalam perjalanan itu ada sikut-menyikut, jegal-menjegal, peluk-pelukan semu, senyum-senyam masam. Lalu pada detik lain ada tawa riang di ruang beraroma mewangi yang diselipkan racun teramat halus. Racun halus akan menggerot secara perlahan dalam kepastian untuk menekuk dan merobohkan. Tepik sorak di sisi kaum rebahan, tarian kemuliaan dipertontonkan di pentas keagungan semu. Mimpi berubah menjadi visi dan misi membingkai nagari.
Tersenyumlah. Â
Umi Nii Baki-Koro'oto, 11 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H