Senja tiba pada beberapa hari lalu. Hari itu tanggal menunjuk  tujuh tujuh dua ribu dua puluh tiga. Halaman rumah dengan konstruksi tembok itu telah berdiri tenda. Mereka menyebutnya, tenda syukur. Saat itu berbaris dan berjejer kursi-kursi di dalam tenda. Di hadapan beberapa kursi terdepan, dua tiga unit meja dengan hiasan sederhana nan anggun. Pada dinding tembok bangunan tua itu terpampang sehelai baliho. Di sana tertulis SYUKUR WISUDA, we're finally here, diikuti serangkaian kalimat menarik yang mengesankan. Kalimat itu menjadi penanda bagai prasasti yang akan terus mengingatkan penyelenggara acara ini.
Petinggi di dalam kampung kecil ini mulai berdatangan. Mereka terdiri dari Kepala Desa dan perangkatnya, dan pemimpin institusi agama dan sahabat-sahabatnya. Para tokoh, sahabat dan kerabat pun mulai berdatangan. Ada yang datang dari dalam kampung ini, hingga yang nun jauh terjauh dari selatan Amarasi Raya.
Syukur Wisuda. Siapa yang bersyukur untuk wisudanya? Kapan diwisuda dan di mana wisudanya?
Seorang gadis, sulung dalam satu keluarga kecil yang tergabung dalam satu komunitas keluarga besar dalam kampung bernama Oebaki. Oebaki berada di dalam desa Kotabes, Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang. Sang gadis yang diwisuda ini sangat berbahagia bersama orang tuanya, adiknya semata wayang, kakek-neneknya, dan para paman dan bibi yang disebutkannya sebagai bapak 1-5 dan mama 1-4. Satu pengalaman syukuran wisuda yang menarik.
Gadis ini melewati hari bersekolah di kampung, desa dan kota kecamatan tempat kelahirannya. Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas, semuanya dirambahi hanya di area Kotabes-Oekabiti. Belum tiba di kota Kupang. Pergi ke kota Kupang hanya untuk kepentingan sesaat. Jadi, pengalaman hidup sebagai orang pedesaan menjadi santapannya.Lalu... ia dinyatakan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga - Jawa Tengah.
Wah... jauh sekali. Kota Kupang pun dilewatinya. Laut dan lautan, pulau kecil dan pulau besar tak disinggahi.Â
Perkuliahan yang mencemaskan pada awalnya. Teman tiada. Sahabat pun hampa. Nasib baik berpihak ketika seorang sahabat sesama Timor. Mereka pun menjadi saudara dalam persahabatan, dan menjalin rasa itu dengan tekad untuk menyelesaikan studi secara bersama.
Waktu berlalu dalam masa studi. Kunjungan orang tua? Tidak! Ibu mengantar pada mulanya. Ayah menjemput pada akhirnya.
Tugas-tugas perkuliahan dijalani baik di sekitaran Salatiga dan atau kembali ke Sinode GMIT untuk dikirim ke jemaat lokal di dalamnya. Lalu seiring waktu bergulir, akhirnya tiba pada masa menulis tugas akhir yang rumit, ribet, ribut, cemas dan gemas.
Tugas Akhir dengan segala ceritanya yang beraroma ketegangan "ancaman" orang tua oleh karena telah merasa "sirna" materi kehidupan untuk menunjang. Dalam situasi yang demikian, ia menyelesaikan seluruh proses tugas akhir sampai ujian dan dinyatakan lulus dengan MEMUASKAN.Â
Sore ini para narasumber untuk tugas akhir mendapat undangan. Hadir di antaranya seorang (yang sedang menulis dan tulisannya para sahabat sedang membacanya). Seseorang membisikkan bahwa akan ada permintaan untuk memberikan sambutan pada acara syukuran ini.Â
Kira-kira apa yang akan disampaikan oleh salah satu narasumber ini?
Ketika siulan dan kicau belibis di fajar pagi
gemanya menggetarkan gendang telinga
lodingnya sukacita dari Ivah
Gelisah nian hati ini,
Sore menjelang, senja membayang
raga merasa lelah, rasa tak rindu berjedah
Demikian awalan yang disampaikan oleh Sang Narasumber. Lalu dicampuradukkan dengan frasa berbahasa asing dan campuran ragam Bahasa Meto'. Tawa menghias ruang dalam tenda. Para tokoh dan semua tamu undangan merasakan aura sukacita. Sang Narasumber berbicara asal jadi agar mencairkan suasana oleh karena keharuan yang membuat suasana bagai hening sesudah Gadis bernama Ivah selesai berbicara.
Mengingat waktu yang terus bergulir, hawa dingin mencubit kulit, dan kampung berlambung mulai kempis, maka Sang Narasumber mengakhiri sambutan dengan mengajak berbagi buku.
Satu buku berjudul Sangpiak Toraja Utara Kami Datang. Buku ini ditulis oleh Heronimus Bani ketika berkunjung ke Toraja Utara. Buku ini sering dipakai sebagai sarana memberi hadiah pada acara-acara khusus dan khas. Hal ini terjadi juga pada seorang pendeta GMIT yang ditahbiskan pada Minggu (25/6/23) di Oelunggu Rote.Â
Tugas Akhir yang diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang diterimakan pada Sang Narasumber berjudul: Kajian Spiritualitas Sosiologis dalam Budaya Orang Timor "oko'mama'"Â di Desa Nekmese Amarasi Selatan (1).Â
Ringkasnya kajian ini yakni, oko'mama'Â bukan sekadar tempat untuk menyimpan dan menyuguhkan sirih-pinang. Oko'mama'Â dapat dikaji untuk menggambarkan wajah Allah atau kualitas Allah yang terlihat dari relasi dalam masyarakat. Inilah alasan menarik yang menjadi latar pikir sang gadis bernama Ivah melakukan riset di desa Nekmese, Kecamatan Amarasi Selatan Kabupaten Kupang. Suatu kajian yang menarik dan membanggakan.
Ketika secara gamblang Sang Narasumber menyampaikan hal ini di hadapan para tokoh dan tamu undangan, sesaat kemudian seorang guru mendekat dan berbisik dalam bahasa daerah yang terjemahannya seperti ini: "Saya baru tahu makna oko'mama'. Kalau tidak dijelaskan seperti tadi, pasti kita hanya tahu satu saja fungsinya, tempat untuk menyimpan dan menyuguhkan sirih-pinang."
Begitulah cerita tujuh Juli senja. Seluruh tamu undangan pun disilahkan menuju meja hidangan untuk mengambil bagian dalam tanda syukur ini. Pendeta GMIT yang baru saja ditahbiskan di Oelunggu Rote didaulat untuk memimpin doa syukur menyambut berkat makanan yang disediakan keluarga besar ini. Rasa haru dan syukur pada semua pihak, terutama keluarga penyelenggara acara syukuran ini.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 10 Juli 2023
Sumber: (1) Tugas Akhir Ivah Querida Keo, Fakultas Teologi UKSW, Salatiga, 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H