Gegap gempita panggung eleksion di Nagari Kepulauan sedang berlangsung. Para praktisi sangat gemar menyebar citra diri dengan memajang rupa pada varian wahana. Batang-batang pohon diam saja walau ditusuk-tusuk demi tempelan rupa tiba di sana. Rupa kaum praktisan dalam varian ukuran disebarluaskan. Ukuran yang mudah masuk ke kantong dan diseliipkan dalam buku catatan, hingga ukuran yang mahaluas menempati sudut-sudut keramaian area perkotaan dan pedesaan, kampung nelayan dan kampung kaum pinggiran.
Siapapun sudah mengetahui bahwa media paling ampuh saat ini yakni media sosial. Satu-satunya tempat yang tak boleh dibawa ke area publik yakni tempat bersembunyinya pasutri. Lainnya terasa sudah amat vulgar di genggaman medsos. Mulai dari ibadah di rumah hingga tempat-tempat ibadah yang disakralkan pun menjadi objek publikasi demi positifnya citra diri. Mulai dari dapur ibu rumah tangga margin hingga kaum elit. Mulai dari ruang reot dan peot hingga graha megah. Dari noda kecil hingga dosa teramat berat untuk dipikul. Dari sana tampak kebahagiaan publik bergolongan berbarengan dengan muram dan murkanya publik berkategori.
Di tengah rasa sukacita para praktisan mengantar positifnya citra diri, kegelisahan melanda lokus lain. Di sana bumi bergeser setelah digoncang. Tanah tak  lagi merindukan keutuhannya hingga ia membelah diri. Ia menelan material apa saja yang dapat ditelannya. Ia bagai kelaparan saja.Â
Lain lagi dengan aliran sungai yang biasanya damai dengan keceriaan dan jernihnya air yang dibawanya. Alirannya berubah menjadi deras dan keras menerjang. Terjangannya menembus pondok dan gubuk, graha dan gedung. Material perbukitan dibawanya ke sana sambil melemparkan ke dalam perkampungan material-material itu. Kegelisahan dan murung wajah diciptakannya. Ia melanjutkan perjalanannya untuk tiba di muara. Di sana ia menggenangi bibir pantai dan melambai-lambai di permukaan bersama. Keduanya menyatu dalam jalinan biru dan coklat. Entah harus menyebut namanya apa?
Di layar kaca politikus bergeming, pengamat dan periset terus mencerca dengan saran dan kritik. Penonton tertawa, termangu, bingung dan bengong pula.  Kader menggunakan dua pendekatan pada diskusi dan debat: defensif dan ofensif. Rona tanpa dosa terus dipentaskan. Gestur mengantar gimik antara persahabatan dan perseteruan, kepentinan individu, kelompok dan golongan, lalu kepentingan bangsa dan negara bagai catatan menarik belaka di bibir berujar.
Ayam-ayam jago terus mendapat izin pembiaran terus berkokok. Kokoknya menggema dari pusat kota ke pinggiran hingga melintasi batas geografis teritori bangsa. Kokok para jantan terdengar sumbang, lalu jantan kecil dan para betina peliharaan menyuarakan maknanya dengan argumentasi defensif dan ofensif. Para betina bagai boneka kesayangan yang dielus dan dipeluk tuan dan puannya, lalu dilepasbiarkan untuk berkoar kembali. Sungguh ragam sajian di nagari kepulauan.Â
Ketika kaum margin mendekat menadahkan tangan, mereka yang berada di puncak-puncak kegemilangan menjadikannya lahan. Proposal segera direntang dalam urai frasa memikat. Proposal bagai mata kail di tangan pemancing profesional. Entah pula sebagai pukat harimau di tangan nelayan super profesional. Ikan didapatkan, dibelah-bilah hingga pemilahan agar ketika tiba di tangan kaum marginal yang mendadahkan tangan, tetap terasa aroma ikan segar. Ketika para pemuncak gemilang pulang, mereka mengelus dada sambil tersenyum. Dalam tidurnya ada mimpi tentang menikmati makanan lezat di hadapan kaum margin.