Publik melihat dengan cibiran dan geleng kepala tanda heran. Mengapa mereka yang baru saja dinyatakan lulus berkarakter "buruk" seperti itu? Bukankah aksi mencoret pakaian, badan dan ugal-ugalan di jalan sebagai karakter siswa non Pancasila? Karakter yang dipertontonkan itu kiranya mungkin sesaat saja, namun telah mencoreng wajah pendidikan, khususnya lembaga pendidikan yang menjadi almamater mereka yang sudah menjadi alumni.
Beberapa penyebab vandalisme pada kalangan remaja sesaat setelah dinytakan lulus kira-kira sebagai berikut:
- Lingkungan keluarga. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan informal menjadi "fondasi" utama pembentukan karakter anak. Bahwa karakter baik anak mencerminkan pendidikan di dalam keluarga yang baik pula, walau hal ini pun masih dapat didebat.
- Lingkungan pergaulan anak termasuk di dalam lingkungan sekolah. Kaum remaja tidak berhenti belajar untuk membentuk karakternya di rumah saja, tetapi lingkungan sekitarnya ikut memberi pengaruh. Remaja paling rentan untuk "digoda" untuk mencirikan jati dirinya. Siapa yang menggoda? Teman sebaya dalam satu lingkungan hingga satu sekolah. Hendak menolak untuk berbeda sendiri dengan teman sebaya, akan dianggap kurang gaul. Hendak sama dengan teman sebaya dalam hal berkarakter kurang terpuji (vandalis) justru menurunkan derajat baik yang sudah dimiliki. Jadi, kaum muda remaja berada pada posisi labil...
- Perhatian guru. Tahun-tahun belakangan ini vandalisme terlihat hanya pada aksi mencoret, menggambar dan mewarnai pakaian seragam. Sekitar tahun 1980-an sampai 1990-an aksi vandalisme bukan saja dengan cara itu tetapi juga merusak fasilitas sekolah seperti: pintu-pintu dihancurkan, kaca jendela dipecahkan, atap sekolah dilempari, bahkan guru tertentu mendapat perlakuan kasar baik verbal maupun fisik. Semua itu dilakukan oleh mereka yang dinyatakan tidak lulus. Sementara mereka yang dinyatakan lulus, justru bergirang dengan aksi coret, tanda tangan di baju, menggambar di badan dengan cat semprot dan lain-lain. Apakah guru dapat menegur? Tidak! Ini sikap dan perilaku "final" para siswa di sekolah sehingga guru tak dapat berbuat sesuatu apa pun, kecuali membiarkan, pasrah dan menyesal. Pada masa belajar 3 tahun, dapat saja para guru memberi perhatian secara berbeda antarsiswa, maka ketika tiba di titik waktu berpisah, mereka berlaku "buruk" dengan aksi vandalisme. Di sekolah (SMA, SMK, MA) para guru telah mengingatkan berkali-kali tentang malmanfaat dari vandalisme. Maka, ketika pengumuman kelulusan, justru mereka mengenakan pakaian tradisional. Siapakah yang akan mencoret dan menggambar pada pakaian tradisional yang variatif dan sudah bercorak gambar khas entitas tertentu? Nilai ekonomi pakaian tradisional dan ciri khas etnis menjadi jaminan untuk tidak menimbulkan vandalisme.
Jika sudah demikian, bukankah vandalisme dapat dicegah?
Ketika PA kembali dari Oelamasi, ibukota Kabupaten Kupang, masih di sekitar Kupang Timur, para siswa lulusan salah satu SMA di sana berbondong-bondong keluar dari halaman sekolah dengan berpakaian tradisional. Mereka didampingi orang tuanya yang hadir memenuhi undangan pihak sekolah dalam rangka pengumuman kelulusan. Para siswa nampak elegan dan terhormat dengan pakaian seperti itu, berbanding terbalik dengan apa yang PA saksikan sebelumnya.
Hal yang sama ketika PA tiba di wilayah Kecamatan Amarasi. Salah satu SMA di sana mengumumkan kepada para peserta ujian, dan para siswa yang dinyatakan lulus bersyukur dengan foto-fofo bersama para guru dan kepala sekolah tanpa mewarnai pakaian mereka. Suatu pemandangan yang menyamankan.
Penutup
Aksi mencoret, membubuhkan nama dan tanda tangan, menggambar, hingga mewarnai anggota tubuh yang terjadi di kalangan remaja sudah menjadi masalah sosial. Mereka menimbulkan keresahan di ruang publik dan pada area keluarga. Orang tua mana yang memuji anaknya ketika pulang dari sekolah dengan pakaian berwarna, rambut dan anggota tubuh telah dilumuri cat?
Masalah yang muncul setahun sekali pada saat pengumuman kelulusan siswa peserta ujian pada tingkat SMP, SMA,SMK, entah itu terjadi juga di pesantren dan sekolah-sekolah dengan eksistensi dan "bendera" agama? Sebaiknya hal itu tidak terjadi di sana agar terlihat jelas dan nyata karakter sebagaimana ajaran yang diintrodusir pada mereka.Â
Kaum muda remaja yang dididik dalam lingkugan sekolah "sekuler" negeri dan swasta menerima pula pendidikan moral, agama dan budi pekert, tetapi siapa yang menjamin karakter "merusak" diri walau sesaat?
Lembaga pendidikan formal yang alumninya berkarakter vandalis perlu mendapat perhatian pemerintah. Agaknya lembaga pendidikan seperti itu "gagal" memberikan pendidikan moral, etika, dan nilai. Apakah para guru bersikap vandalis secara verbal dan fisik sehingga ditiru siswanya? Tentu tidak, tetapi mereka perlu berefleksi, ketika Presiden NKRI, Ir. Joko Widodo gencar menaikkan derajat pakaian tradisional (pakaian adat) sehingga siswa di sekolah pun telah turut andil di dalamnya, mengapa justru vandalisme masih hidup di sini pada kalangan siswa?