Hari Raya Nyepi baru saja berlalu. Pulau Bali benar-benar sepi, bahkan cenderung remang-remang. Suatu pemandangan yang luar biasa dimana seluruh umat manusia yang menghuni pulau berjuluk pulau Dewata itu "menepi" untuk merayakan Nyepi.
Saya belum pernah menyaksikan dan merasakan secara langsung perayaan Nyepi oleh umat Hindu di pulau Dewata ini. Puji Tuhan dalam dua tahun ini, anak kami yang sedang kuliah di Denpasar turut merasakan suasana Hari Raya umat Hindu di pulau ini. Ia bercerita bahwa suasananya benar-benar sepi. Padahal, pulau Dewata sudah sangat go international sehingga sangat banyak wisatawan dari mancanegara berada di sini.
Kehadiran wisatawan domestik dan mancanegara bukan suatu hal baru pada suatu destinasi wisata, tetapi di Pulau Bali tentulah berbeda karena Pemerintah dan Pemangku Kepentingan Agama ada dalam satu keterpaduan sikap dan tindak untuk satu hari raya Agama Hindu yang penting, Hari Raya Nyepi.Â
Dibutuhkan ketaatan dan kepatuhan dari masyarakat pada aturan formal yang dibuat oleh Pemerintah sebagai bentuk dukungan nyata terhadap dogma Hindu tersebut. Iman dalam praktik nyata. Nyepi.
Menuju Hari Raya Nyepi, umat Hindu merayakan sekitar 5 hari raya lain yang kiranya dapat disebutkan sebagai pra Nyepi, Nyepi, dan post Nyepi. Kelima perayaan yang dimaksudkan itu sebagaimana dicatatan di sini yakni:
 1. Upacara Melasti. Upacara pertama ini dilakukan pada tiga atau empat hari sebelum hari Nyepi tiba. Pelaksanaannya dilakukan dengan persembahyangan umat di laut maupun danau, yang menurut kepercayaan agama Hindu menjadi sumber air suci yang mampu menyucikan berbagai hal kotor dalam diri manusiaÂ
2. Â Tawur Kesanga. Tawur berarti mengembalikan atau membayar, yang merujuk pada timbal balik umat pada apa yang telah diambilnya dari alam untuk bertahan hidup dan mencari rejeki. Dalam acara ini, umat Hindu meyakini menjadi waktu yang tepat untuk melepas sifat serakah yang melekat di dirinya. Perbuatan mengambil yang dilakukan kemudian dibalas dengan perbuatan memberi dengan bentuk persembahan.
3. Mecaru. Upacara ini dilakukan dengan menebar nasi Tawur di sekeliling rumah sambil memukul kentongan hingga gaduh. Makna dari upacara ini adalah untuk mengusir Bhuta Kala yang ada di sekitar tempat tinggal. Pada skala yang lebih besar, Mecaru dilaksanakan dengan ogoh-ogoh berwujud Bhuta Kala yang menggambarkan sifat buruk manusia.
4. Hari Raya Nyepi. Â Semua persiapan selesai dilaksanakan, dan umat akan memasuki puncak hari raya Nyepi. Dalam 24 jam ke depan, umat Hindu tidak akan melakukan aktivitas seperti biasa dalam rangka mengendalikan dirinya dari hal-hal yang berbau keduniawian. Pelaksanaan dilakukan dengan tidak menyalakan api, tidak bepergian, tidak bekerja, tidak makan dan minum, dan tidak melakukan aktivitas yang mencemarkan badan. Istilah yang digunakan adalah Catur Brata Penyepian
5. Ngembak Geni. Tahap terakhir setelah perayaan hari raya Nyepi dilaksanakan adalah tradisi Ngembak Geni, yang mengagungkan nilai Dharma Santi. Momen ini mengandung makna akhir dari Catur Brata Penyepian, sekaligus jadi penutup rangkaian Nyepi. Wujud pelaksanaannya dengan saling berkunjung ke keluarga, kerabat, atau teman dekat, dengan tujuan saling memaafkan atas segala kesalahan yang telah terjadi.
Dalam rangka menuju ke Nyepi itulah umat manusia yang berbeda-beda identitas itu menyatu dalam kelima upacara ini. Maka, perbedaan tak dapat dihindari, tetapi semangat gotong-royong, persatuan dan kesatuan tetap terjaga. Nilai menghormati dan menjunjung kekhusukan beribadah ditempatkan sebagai prioritas agar tidak saling bertubrukan kepentingan.Â