Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tampil Beda di Tengah Ogoh-Ogoh

30 Maret 2023   07:09 Diperbarui: 30 Maret 2023   07:13 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Anselans P. Bani, Kolase oleh Roni Bani

Hari Raya Nyepi baru saja berlalu. Pulau Bali benar-benar sepi, bahkan cenderung remang-remang. Suatu pemandangan yang luar biasa dimana seluruh umat manusia yang menghuni pulau berjuluk pulau Dewata itu "menepi" untuk merayakan Nyepi.

Saya belum pernah menyaksikan dan merasakan secara langsung perayaan Nyepi oleh umat Hindu di pulau Dewata ini. Puji Tuhan dalam dua tahun ini, anak kami yang sedang kuliah di Denpasar turut merasakan suasana Hari Raya umat Hindu di pulau ini. Ia bercerita bahwa suasananya benar-benar sepi. Padahal, pulau Dewata sudah sangat go international sehingga sangat banyak wisatawan dari mancanegara berada di sini.

Kehadiran wisatawan domestik dan mancanegara bukan suatu hal baru pada suatu destinasi wisata, tetapi di Pulau Bali tentulah berbeda karena Pemerintah dan Pemangku Kepentingan Agama ada dalam satu keterpaduan sikap dan tindak untuk satu hari raya Agama Hindu yang penting, Hari Raya Nyepi. 

Dibutuhkan ketaatan dan kepatuhan dari masyarakat pada aturan formal yang dibuat oleh Pemerintah sebagai bentuk dukungan nyata terhadap dogma Hindu tersebut. Iman dalam praktik nyata. Nyepi.

Menuju Hari Raya Nyepi, umat Hindu merayakan sekitar 5 hari raya lain yang kiranya dapat disebutkan sebagai pra Nyepi, Nyepi, dan post Nyepi. Kelima perayaan yang dimaksudkan itu sebagaimana dicatatan di sini yakni:

 1. Upacara Melasti. Upacara pertama ini dilakukan pada tiga atau empat hari sebelum hari Nyepi tiba. Pelaksanaannya dilakukan dengan persembahyangan umat di laut maupun danau, yang menurut kepercayaan agama Hindu menjadi sumber air suci yang mampu menyucikan berbagai hal kotor dalam diri manusia 

2.  Tawur Kesanga. Tawur berarti mengembalikan atau membayar, yang merujuk pada timbal balik umat pada apa yang telah diambilnya dari alam untuk bertahan hidup dan mencari rejeki. Dalam acara ini, umat Hindu meyakini menjadi waktu yang tepat untuk melepas sifat serakah yang melekat di dirinya. Perbuatan mengambil yang dilakukan kemudian dibalas dengan perbuatan memberi dengan bentuk persembahan.

3. Mecaru. Upacara ini dilakukan dengan menebar nasi Tawur di sekeliling rumah sambil memukul kentongan hingga gaduh. Makna dari upacara ini adalah untuk mengusir Bhuta Kala yang ada di sekitar tempat tinggal. Pada skala yang lebih besar, Mecaru dilaksanakan dengan ogoh-ogoh berwujud Bhuta Kala yang menggambarkan sifat buruk manusia.

4. Hari Raya Nyepi.  Semua persiapan selesai dilaksanakan, dan umat akan memasuki puncak hari raya Nyepi. Dalam 24 jam ke depan, umat Hindu tidak akan melakukan aktivitas seperti biasa dalam rangka mengendalikan dirinya dari hal-hal yang berbau keduniawian. Pelaksanaan dilakukan dengan tidak menyalakan api, tidak bepergian, tidak bekerja, tidak makan dan minum, dan tidak melakukan aktivitas yang mencemarkan badan. Istilah yang digunakan adalah Catur Brata Penyepian

5. Ngembak Geni. Tahap terakhir setelah perayaan hari raya Nyepi dilaksanakan adalah tradisi Ngembak Geni, yang mengagungkan nilai Dharma Santi. Momen ini mengandung makna akhir dari Catur Brata Penyepian, sekaligus jadi penutup rangkaian Nyepi. Wujud pelaksanaannya dengan saling berkunjung ke keluarga, kerabat, atau teman dekat, dengan tujuan saling memaafkan atas segala kesalahan yang telah terjadi.

Dalam rangka menuju ke Nyepi itulah umat manusia yang berbeda-beda identitas itu menyatu dalam kelima upacara ini. Maka, perbedaan tak dapat dihindari, tetapi semangat gotong-royong, persatuan dan kesatuan tetap terjaga. Nilai menghormati dan menjunjung kekhusukan beribadah ditempatkan sebagai prioritas agar tidak saling bertubrukan kepentingan. 

Di tengah keramaian menuju Nyepi dalam rangkaian 3 upacara pertama itu, anak kami, Anselans P. Bani hadir dan turut mengambil bagian dalam mengabadikan momentum itu. Beberapa foto dikirimkan pada saya, yang menginspirasi untuk menulis artikel ini.

Anselans P. Bani memberikan deskripsi sebagai berikut:

Foto yang saya ambil ini adalah foto Pengrupukan yang dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh. Peristiwa terjadi hari Selasa, 20 Maret 2023, dimana arak-arakan oleh masyarakat mengelilingi Patung Catur Muka. Salah satu budaya yang selalu dilakukan sehari sebelum hari raya Nyepi.
Terlihat antusias masyarakat yang ikut meramaikan pawai ini sangat banyak, mungkin baru terbebas dari protocol Kesehatan, dampak covid 19 yang sempat melanda bumi.
Poin penting di karya saya ini adalah salah satu masyarakat yang ada dalam frame foto ini memiliki sebuah tato Yesus. Ini merupakan titik menarik dari foto ini, dimana dapat menggambarkan bahwa toleransi masih terjaga dengan baik antar agama di era gempuran intoleransi saat ini. Intoleransi menjadi benih penghancur persatuan dan kesatuan bangsa. Jadi pesan yang bisa diambil dari foto ini menurut saya adalah perbedaan yang dirajut tetap menjadi suatu keindahan jika dijalani bersama tanpa memandang perbedaan itu sendiri. Sebagaimana semboyan negara Indonesia yaitu "Bhinneka Tunggal Ika", berbeda-beda tetapi tetap satu.
Saya menggunakan kamera Sony a6000, dengan data teknis ISO 1250 |f/3.5 | shutter speed 1/80s. (Sumber: Chat WhatsApp)

Deskripsi tersebut akan digunakan untuk suatu presentasi di kampus dimana ia sedang menjalani kuliah.

Tiga lembar foto lainnya menggambarkan suasana kaum muda, kaum milenial yang hidup dalam zaman digitalisasi ini. Zaman dimana terasa tiada tangan tanpa android handphone. Mereka sangat antusias membuat video atau foto pada moment pawai ogoh-ogoh.

Foto-foto: Anselans P. Bani, kolase; Roni Bani
Foto-foto: Anselans P. Bani, kolase; Roni Bani

Suatu pemandangan yang menarik dari ketiga foto ini. Para kawula muda rela berdesak-desakan di tengah keramaian pawai ogoh-ogoh. Rasanya tidak ada yang mau menjadi pendengar cerita, tetapi justru menjadi presenter yang melaporkan suatu peristiwa secara real time. Rela berdesakan tanpa memandang status dan jenis kelamin, sambil tetap menjaga ketertiban.

Nah, apa yang dapat diambil dari perayaan hari raya Nyepi yang saya catat di sini? Tentu para sahabat pembaca mempunyai opini. Silahkan beri vote dan komentar pada kolom yang tersedia.

Salam Persahabatan dalam satu Blog Kompasiana. haha...

Umi Nii Baki-Koro'oto, 30 Maret 2023

Heronimus Bani  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun