Bila hari makin siang, terang dan terik makin menerpa, cerah wajah menguras inspirasi, gerah rasa di raga rindu tinggalkan area sejenak mencari kesejukan. Insan galau pada cuaca entah berawan, mendung, cerah, hujan, panas dan terik mengiris-iris ari.
Suara melengking serangga penghuni mayapada bagai biduanita di pentas kecerahan dan keceriaannya. Mendayu-dayu di sini, gendang telinga bergetar mengirim pesan ke otak untuk mengolahnya dalam varian kategori jenis serangga dan makhluk lainnya yang sedang bergurau di teriknya siang ini.
Kaum berseragam kedinasan dalam varian ragamnya disambut tugas bangsa dan negara, di sana bergelut menata karir mendulang sejahtera, berbarengan dengan bisik-bisik berisik hingga bising dari bibir petinggi speciale bagai menampar kolega yang sedang ditampar dari dampak kemewahan dan kemegahan cenderung pongah nan arogam.Â
Peringatan dilantunkan secara lantang oleh petinggi lainnya agar para bawahan dari posisi duduk atau jongkok hingga merayap tak elok bagi mereka untuk pamer luxuriosus, cukuplah bungkus dan luluri gaya hidup hedon dengan tampilan kemunafikan agar kaum pauperis tertegun dalam kepolosan.
Aku, Pemulung Aksara gerah di raga belaka, manakala cuaca berubah dan inspirasi menjejer aksara bermakna dalam frasa kosong nan ompong yang kubereri judul Hedonis redupkan Humanis.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 17 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H