Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Fajar Pagi Tak Menawan Aksara

15 Maret 2023   08:59 Diperbarui: 15 Maret 2023   09:07 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fajar pagi tak menawan aksara untuk berkisah tentang cinta yang luruh dalam ratapan dan tangisan. Sepasang kekasih dalam keresahan. Suami mendesah, terasa waktunya makin dekat. Ia sudah bertahun-tahun menderita sakit. Rumah sakit telah menjadi langganannya. Ia ditunggui isteri yang memberi dadanya menjadi sandaran pada malam ini. Anak gadisnya berumur belasan tahun murung di hadapan ayahnya yang terus menarik nafas perlahan. Suaranya hanya mendesis, tak jelas di pendengaran

Pasangan mertua dan anggota keluarga seisi rumah duduk melingkari pasangan kekasih yang sungguh-sungguh merindukan mujizat, kesembuhan. Mulut mereka bagai terkatup, bola mata memandang, masing-masing menata tangan pada diri sendiri, entah dilipat di dada, atau meraba-raba sesuatu tanpa maksud. 

Tiba-tiba desis suara muncul agak terdengar, "Saya minta maaf untuk semuanya. Bila selama ini saya tidak mampu menafkahi isteri dan anak-anak saya. Maafkan saya. Saya sudah berusaha sekuat tenaga, namun penyakit yang mendera tubuh ini bagai sudah mencengkeram amat kuat, bahkan dokter pun tak dapat menyembuhkannya."

Suara itu terdengar di telinga isterinya. Isterinya menitikkan air mata. "Bertahanlah."

"Doakan saya. Tolong ajak semuanya berdoa. Rasanya saya sudah akan segera pergi."

Seisi rumah terdiam. Sekujur kemudian mereka saling berbagi rasa dalam ungkapan maaf memaafkan antara sesama saudara. Mereka larut dalam doa. Menyalami dan mencium pasangan kekasih ini dan anak perempuan mereka.

Tiada menunggu sehari berikutnya. Waktu berganti di tengah malam, fajar belum juga menampakkan diri. Nafas terakhir dihembuskan dan lemaslah tubuh di dada sebagai sandaran. Isterinya merasakan tubuh suaminya mulai dingin. Dingin. Dingin. 

Ia telah pergi, pergi untuk selama-lamanya. Anak perempuan semata wayang menangis. "Bapa... bapa... bapa...!"

Semuanya menangis, memecah keheningan malam.

Tetangga berdatangan. Ada di antaranya yang keluar untuk memanggil tetangga yang lebih jauh di seputaran kompleks.

Pukul 04.00 saat fajar mulai menampakkan diri, lonceng kedukaan dibunyikan. Kaum dan kerabat sekampung dibangunkan oleh lonceng kedukaan ini.

 

Umi Nii Baki-Koro'oto, 15 Maret 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun