Di Nusa Tenggara Timur masyarakat kelas menengah (maksudnya yang sudah berpendidikan) bila berasal dari daerah-daerah, rerata telah menggunakan paling kurang dua bahasa (B1/L1 dan B2/L2). Jika ada yang sudah mencapai tingkat pendidikan tinggi mereka bahkan dapat menggunakan bahasa ketiga atau keempat (B3/L3, B4/L4).
Jadi, bahasa ibu bagai fondasi yang kuat untuk menempatkan bahasa kedua dan seterusnya. Orang yang mampu berbahasa lebih dari satu bahasa, tentulah orang yang memiliki fondasi bahasa ibu yang kuat.
Bagaimana dengan masyarakat perkotaan yang heterogen? Apa nama bahasa ibu yang mereka gunakan?
Mari sebutlah kota Kupang yang heterogen. Masyarakat dalam kota Kupang yang heterogen asal daerahnya berkomunikasi dengan bahasa apa? Mereka berkomunikasi dengan bahasa Melayu Kupang.Â
Lantas, apakah bahasa daerah lain hilang di antara mereka? Tidak. Bila masyarakat yang berasal dari pulau Sabu masih dapat menggunakan bahasa Sabu (li hawu) (B1/L1) maka bahasa Melayu Kupang telah menjadi bahasa kedua (B2/L2). Maka, bila mereka belajar menggunakan bahasa Indonesia yang standar (baik dan benar) maka masyarakat pada etnis Sabu Kota Kupang telah menjadi pemakai tiga bahasa (trilingual). Demikian pula dengan pengguna bahasa daerah (asal) lainnya.
Bila para muda yang hari-hari ini terlahir di Kota Kupang namun menyebut diri dengan etnis/suku tertentu, padahal tidak dapat menggunakan bahasa dari etnis/suku itu, maka semestinya dia menyebut diri sebagai orang Kupang yang menggunakan bahasa Melayu Kupang sebagai bahasa ibu, bahasa daerah (B1/L1).Â
Pada masyarakat yang menghuni suatu wilayah dengan kesamaan bahasa, maka bahasa di daerah itulah yang digunakan dalam komunikasi pergaulan keseharian. Ketika memasuki dunia formal, masyarakat dapat menggunakan dua bahasa yakni B1/L1 dan B2/L2.Â
Bila berada dalam situasi formal sekalipun namun masih dapat menyisipkan bahasa daerah dari daerah darimana asal penuturnya, maka tidaklah salah juga. Mengapa? Karena kata tertentu dari satu bahasa daerah yang dilafalkan berulang dan digunakan secara tertulis (bantuan publikasi oleh media), maka akan memperkaya perbendaharaan kata dalam bahasa nasional.
Tengoklah masyarakat Kabupaten (kepulauan) Alor yang memiliki puluhan bahsasa, apakah tidak ada bahasa pengantar yang familiar dengan mereka? Ada, bahasa Melayu Alor, yang bukan bahasa Indonesia. Dimana ada keragaman etnis dengan bahasa daerah dan dialek yang berbeda, dapat dipastikan akan ada bahasa pengantar (lingua franca) yang menjembatani gap itu.Â
Ini memerkaya bahasa ibu, bahasa daerah, dan pada titik masa tertentu bahasa nasional pun turut diperkaya. Lihatlah bagaimana serapan kata-kata berbahasa daerah tertentu ke dalam bahasa Indonesia, demikian pula kata-kata berbahasa asing (Inggris, Latin, Jerman, Belanda, dll). Proses yang demikian terjadi secara natural.
Penutup
Dalam rangka hari bahasa ibu internasional, apa yang Anda lakukan? Ataukah Anda sedang tidak sadar, tidak mengetahui bahwa bahasa ibu telah mendapat perhatian badan dunia, UNESCO?Â