Gempa bumi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hal itu dapat dijelaskan secara ilmiah sebagaimana yang ditulis oleh Pengelola web Direktorat  SMP.[1]engelola web Direktorat SMP menjelaskan bahwa gempa bumi terjadi oleh karena pergerakan lempeng bumi yang yang mengakibatkan efek getaran pada permukaan bumi. Gaya yang cukup besar yang bersumber dari pergerakan lempeng, sehingga batuan pada lempeng akan menegang. Akibatnya lempeng bumi dapat berubah bentuk, bahkan dapat patah atau kembali ke bentuk semula jika gaya tersebut hilang.
Ketika lempeng patah menjadi dua bagian, maka masing-masing bagian akan bergerak saling menjauh. Daerah lempeng yang patah tersebut dinamakan patahan/sesar, sedangkan gelombang yang merambat sepanjang permukaan bumi dan gelombang gempa bumi disebut gelombang seismik. Sebuah titik pada kedalaman bumi yang menjadi pusat gempa disebut hiposentrum. Permukaan Bumi yang berada di atas hiposentrum disebut episentrum.
Kekuatan gempa (magnitude) pada satu daerah dinyatakan dengan Skala Richter. Pengukuran kekuatan gempa didasarkan pada amplitudo atau grafik gelombang seismik pada alat yang disebut Seismogram. Skala Richter menunjukkan besarnya energi gempa yang dilepaskan. Rentang Skala Richter antara 1,0 -- 10,0. Setiap kenaikan 1,0 skala, energi gempa yang dihasilkan 32 kali lebih besar. Bayangkan bila skalanya mencapai 5,0 sampai 7,0 dan di atasnya. Dahsyat sekali dampaknya, bukan?
Jauh sebelum orang mendapatkan pencerahan secara ilmiah tentang gempa, komunitas masyarakat dalam lokus masing-masing memilik pengetahuan lokal tentang sesuatu fenomena alam, termasuk gempa bumi. Banyak cerita di sekitar gempa bumi yang menghancurkan dan menelan korban jiwa, namun komunitas-komunitas masyarakat pada masa tertentu meyakini berbeda dari apa yang diurai para ilmuwan di waktu yang lain.
Mari lakukan apa yang disebut gugling, dan dapatkan catatan-catatan menarik, mitos tentang gempa pada banyak komunitas masyarakat[2].
Bagaimana dengan komunitas Atoin Meto' (orang Timor)?
Alkisah seorang leluhur memanggul bola bumi. Ia sayang pada keturunannya sehingga ia menempatkan bumi pada bahunya agar terhindar dari berbagai hal yang merugikan keturunannya. Keturunannya mendapat peluang dan ruang untuk bertambah banyak di sana. Mereka boleh bekerja apa saja asalkan selalu ingat padanya. Ia tidak meminta sesuatu yang luar biasa. Ia hanya meminta agar namanya disebutkan sebagai pemangku bumi (yang panggul/pikul di bahu).
Sang leluhur merasa suka untuk selalu membopong atau memanggul keturunannya yang menetap, berkarya dan berketurunan di bumi. Sayangnya, mereka sering lupa padanya, manakala karya yang mereka buat tak dipestakan. Bila mereka berpesta, maka leluhur mengetahui bahwa bumi yang dipanggulnya sedang ada orangnya yang sedang bersuka. Bila pesta duka sekalipun (tiis raru/lalu, kaki' fuabona')Â bila itu terjadi, Sang leluhur pun tahu, bahwa dalam duka bertangisan dan meratap, ada suara yang sampai ke telinganya.
Pada titik waktu yang lain, kesibukan yang menyita perhatian penghuni bumi sehingga terasa sepi, sunyi tanpa bebunyian yang sampai ke telinga Sang Leluhur. Maka, ia menggoyang bumi.Â
Ketika bumi bergoyang, penghuni bumi berlarian sambil berteriak, "Pah ii matua'! Pah ii matua'!"Â (terjemahan, negeri ini ada penghuninya). Lalu mereka bukan saja berteriak, tetapi membunyikan apa saja yang dapat dibunyikan agar Sang Leluhur yang menggoyang bumi mendengar. Ketika ia mendengar, bahwa di bumi masih ada penghuninya, maka ia menghentikan goyangannya.