tulisan berseri:Â Seri Keenam
Pada seri kelima saya paparkan perjalanan saya dari Kupang ke Darwin; selanjutnya kami dari Darwin - Katherine - Yirrkala. Semuanya dengan uraian yang lugas, sambil berharap ada kesan inspiratif pada para sahabat pembaca.
Pada seri keenam ini akan saya paparkan tentang prosesi peminangan yang menggunakan pendekatan kolaboratif. Maksudnya, saya menggabungkan cara masyarakat adat perkotaan dan masyarakat adat Pah (kerajaan-swapraja)Â Amarasi . Bagaimana membedakannya?
Pada masyarakat perkotaan di Nusa Tenggara Timur pendekatan maso minta sudah sangat jamak/lazim. Ada  baki/dulang maso minta minima 5 baki/dulang yang standar.  Bahwa sering pula ada yang menambah sesuai entitas dari etnis dari pihak keluarga gadis yang dipinang.
Persiapan dan Prosesi maso minta
Apa saja yang menjadi perhatian untuk dipersiapkan dalam rangka upacara maso minta di Yirrkala?
- Baki 1, Buka pintu;Â disiapkan satu unit tempat sirih-pinang (oko'mama')Â bergambar burung. Â Persiapan di samping oko'mama' yakni naskah aa' asramat atau natoni sebagai sapaan kepada keluarga yang didatangi.
- Baki 2, lilin dan kitab suci perjanjian baru dalam bahasa Amarasi;
- Baki 3a dan 3b, kain tenunan, perhiasan, perlengkapan kecantikan
- Baki 4a dan 4b, kain tenunan dan pisau
- Baki 5, kain tenunan dan pisau
- Baki 6, kain tenunan dalam jumlah besar
- Baki 7, Tutup pintu; disiapkan satu unit tempat sirih-pinang (oko'mama') bergambar motif kai ne'e.  Persiapan di samping oko'mama' yakni naskah aa' asramat atau natoni sebagai sapaan akhir untuk pamitan kepada keluarga yang didatangi.
Setelah semuanya disiapkan, pada baki 3 - 6 masing-masing disisipkan sirih-pinang dalam jumlah amat terbatas. Ketersediaan sirih-pinang diperoleh dari kantor Konsulat Papua Nugini.Â
Seorang staf dari Konsulat bersedia membawa sirih-pinang-kapur pada kami sehingga sebutan upacara ini tepat menurut masyarakat adat Amarasi yaitu, napuah ma namaun (harfiah: berpinang dan bersirih). Maksudnya, para orang tua telah duduk bersama, saling menyuguhkan oko'mama' berisi sirih-pinang-kapur. Mereka telah mengunyah (mamah) campuran ketiga jenis item itu, memerahkan bibir, menyegarkan rona wajah dan meneguhkan hati untuk mengurus dan mengesahkan cinta pasangan kekasih ke dalam mahligai rumah tangga.
Setelah semua persiapan itu dianggap tuntas dan telah fix benar-benar siap, kami pun menyiapkan diri dengan mengenakan busana khas masyarakat adat Pah Amarasi.
Prosesi maso minta dimulai dengan sapaan "ketuk pintu" menggunakan pendekatan khas masyarakat adat orang Timor pada umumnya yakni aa' asramat atau natoni. Dalam acara ini saya memimpin rombongan keluarga menyampaikan maksud kedatangan dalam bentuk tuturan adat, sekaligus berharap pintu hati dibukakan kepada kami, dan mau menyambut kami ke dalam rumah untuk mengadakan acara selanjutnya.
Sesudah tuturan adat itu, oko'mama' bergambar burung diserahkan. Gambar burung yang ada di sana bermakna, rombongan datang dari tempat yang jauh, bagai orang asing (burung) yang berharap mendapatkan tempat bertengger atau mungkin sebaiknya mendapatkan sarang tempat beristirahat.  Sesudah oko'mama' diterima kami pun dipersilahkan masuk oleh mafefa' dari  pihak keluarga calon pengantin perempuan. Â
Di halaman dalam kami disambut dengan tarian oleh beberapa pemuda. Tarian penyambutan yang sangat menarik diiringi alat musik tradisional khas masyarakat etnis Yolngu bangsa Aborigin.
Sesudah tarian ini dipentaskan sebagai penyambutan, sekali lagi kami menyapa seluruh keluarga dan para tokoh serta undangan yang hadir. Selanjutnya kami memasuki sesi memperkenalkan calon pengantin laki-laki, seorang pemuda yang tidak diragukan lagi keteguhan hatinya untuk meminang dan sampai pada titik menikahi gadis pilihannya.Â
Perkenalan diterima, sehingga pihak keluarga calon pengantin perempuan melalui mafefa'Â memperkenankan sejumlah perempuan memasuki arena acara. Mereka dibawa berbaris di hadapan kami semua, lalu kepada pemuda diminta untuk menemukan calon pengantin perempuan pilihan hatinya.
Sesi ini pun telah dapat dilewati, gadis terpilih sudah ada sehingga mereka pun tegak berdiri di hadapan seluruh pemangku kepentingan, para tokoh dan orang tua.
Selanjutnya sebagai Mafefa'Â saya memasuki satu sesi berikut yakni, sesi tanya-jawab kepada calon pengantin adat. Sebelum memasuki sesi ini saya menjelaskan tata cara bertanya dan siapa yang ada hak bertanya. Kami secara silang akan bertanya kepada pasangan calon pengantin adat. Mafefa' dari pihak laki-laki akan bertanya kepada calon pengantin adat perempuan, (gadis) dan sebaliknya mafefa' dari pihak perempuan bertanya kepada calon pengantin adat laki-laki (pemuda).Â
Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:
- siapa yang duduk di sampingmu? Sebutkan namanya!
- Kapan dan dimana bertemu?
- Mengapa begitu banyak orang duduk di sekeliling kita pada saat ini?
- Sampai kapan pernikahan ini berakhir?
- Jika pada suatu waktu terjadi sesuatu yang tak diharapkan dalam pernikahanmu, bagaimana kamu berdua menanganinya agar rumah tanggamu dan pernikahanmu tetap awet?Â
Tentang pertanyaan pertama dan kedua, biasanya amat mudah untuk menjawabnya. Pada pertanyaan ketiga, masyarakat adat Amarasi mengingatnya secara baik. Biasanya sebelum acara seperti itu dilangsungkan kepada para pasangan muda akan dibekali (brifing). Jawaban yang standar yakni, semua orang yang datang dan berkumpul di sini dalam rangka menjadi saksi atas pernikahan kami secara adat. Kami rindu membentuk dan membangun rumah tangga baru.
Tentang sampai kapan pernikahan berakhir? Pertanyaan ini biasanya dijawab secara standar yakni, maut yang akan memisahkan. Lalu terakhir, jawaban standar yakni pasangan suami isteri akan memelihara rumah tangga dan pernikahan itu sebaik-baiknya dalam suka-dukanya, sakit-sehatnya dan seterusnya dua hal yang selalu kontradiktif tidak akan  mengganggu keharmonisan rumah tangga dan pernikahan mereka berdua.
Sesi pertanyaan berakhir, selanjutnya kami mulai menyebutkan item-item apa yang kami bawa sebagai bukti cinta, rasa hormat, penghargaan dan terima kasih kepada orang tua, gadis, saudara laki-laki, kepala suku dan anggota-anggota keluarga tertentu.Â
Dulang pertama, lilin dan alkitab diterimaka kepada kakek-nenek. Dalam budaya masyarakat adat Amarasi disebut taforo ma takoos (harfiah, membutakan dan menulikan). Maksudnya, kakek-nenek menjadi saksi belaka tanpa mendengar dan mengetahui keseluruhan apa yang sedang terjadi, khususnya apa yang diberikan kepada gadis (cucu), orang tuanya dan saudaranya laki-laki.Â
Dulang untuk gadis diserahkan dan diantarkan langsung ke dalam kamar. Hal ini dilakukan berhubung selain perlengkapan kecantikan yang tentu tidak harus dibuka, tetapi ada perlengkapan lain yakni pakaian adat khas masyarakat adat Amarasi. Sesudah seluruh acara penyerahan dulang-dulang maso minta, gadis akan diminta untuk mengenakan busana yang dibawa dari Amarasi untuk mengesahkan perkawinan pasangan adat ini.
Dulang untuk orang tua, paman dan saudara laki-laki diserahkan kepada orang tua dan paman. Di dalam bagian ini sekaligus diselipkan apa yang disebutkan sebagai sea'nono, yakni tanda bahwa keluarga laki-laki kelak akan menyematkan nama tambahan baru kepada gadis yang dipinang. Â
Dulang untuk  kepala suku, mafefa' dari pihak keluarga laki-laki yang menyerahkannya agar sekaligus memohon pengesahan perkawinan agar sah menurut hukum adat perkawinan.
Dulang berikutnya berupa tumpukan kain, tidak diserahkan secara langsung tetapi anggota rombongan mengambil setiap lembar kain dan mengalungkan kepada para sepupu dan keluarga dekat.
Sesudah semuanya diserahkan, dan ada pernyataan pengesahan perkawinan oleh kepala suku, maka selanjutnya gadis ini diminta masuk ke kamar untuk mengganti busana.Â
Gadis yang dipinang ini selanjutnya akan muncul sebagai perempuan yang telah diterima menjadi bagian dari keluarga laki-laki. Ketika muncul di hadapan kami semua dalam busana masyarakat adat Amarasii, calon pengantin adat laki-laki menyambutnya dengan senyum penuh sukacita. Semua orang yang menyaksikannya bertepuk tangan.
Ombak di pantai menghempas batu-batu karang, terdengar pada kami. Rumah tempat peminangan ini benar-benar berada di bibir pantai sehingga ombak pun bagai ikut menjadi saksi atas pernikahan adat ini. Lampu-lampu disiapkan sedemikian rupa sehingga sungguh menampakkan nuansa jatuh cinta dari pasangan kekasih.
Dua tetua diminta menyampaikan nasihat kepada pengantin adat.Â
Nasihat berakhir, sebagai tanda kenangan antar mafefa', saya menyerahkan sebilah pisau dan selembar kain kepada mafefa', serta selembar kain kepada Kepala Museum untuk disimpan di sana sebagai tanda kenangan keberadaan saya di kampung itu. Â Sementara itu saya menerima 2 set perlengkapan yang khas dari kepala suku. Keduanya terbuat dari jenis kayu terpilih.Â
Kami akan pamit berhubung . Maka, saya memimpin sekali lagi gaya pamitan dengan tuturan adat. Seluruh rangkaian acara ini diakhiri dengan sorak gembira. Doa syukur dan sekaligus ramah tamah berlangsung. Kami menikmati makan malam di pinggir pantai dengan nuansa hati penuh sukacita dan rasa syukur. Kedua pengantin adat menerima salam jabat, peluk-cium dari seluruh anggota keluarga, dan tamu yang hadir.Â
Pada hari berikutnya, kami membawa pengantin ke rumah ibadah untuk mengikuti upacara pernikahan menurut agama dari keduanya. Sesudah upacara  pernikahan menurut agama dilanjutkan dengan pencatatan ke dalam register perkawinan menurut hukum perkawinan masyarakat sipil. Dua hari yang menyenangkan antara tanggal 8 - 9 Juni 2017.
Pada malam harinya, kami bersama-sama menikmati suguhan acara pada resepsi yang diadakan di kota terdekat yakni kota Nhulunbuy, semacam ibukota kecamatan. Di sana selain Museum, terdapat resto yang melayani resepsi dan segala pernak-perniknya.
Kira-kira sampai di sini dulu. Saya akan sambung dengan pernak-pernik lainnya pada seri ke tujuh.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 21 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H