Mohon tunggu...
Roni Bani
Roni Bani Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

SD Inpres Nekmese Amarasi Selatan Kab Kupang NTT. Bahasa dan Kebudayaan masyarakat turut menjadi perhatian, membaca dan menulis seturut kenikmatan rasa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bolehkah Menggugat Pendidikan Gratis?

12 Desember 2022   15:40 Diperbarui: 12 Desember 2022   15:47 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi, siswa SD SMP, foto dokpri RoniBani

"Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan." -- Tan Malaka

Pengantar

Ketika Pemerintah Indonesia mengamandemen batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang melahirkan dan mewajibkan negara menyediakan anggaran 20% untuk dunia pendidikan, di sana masyarakat pendidikan berjingkrak kegirangan. Lantas turunan dari Konstitusi itu yakni Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, diikuti aturan teknis pelaksanaannya mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah (Kabupaten,Kota, Provinsi), dan lain-lain yang sifatnya teknis untuk dapat dengan mudah diwujudkan.

Aturan-aturan teknis implementasi konstitusi seperti Peraturan Pemerintah Nomor 47 & 48 tentang Wajib Belajar dan Pendanaan Pendidikan. Sudah banyak waktu yang terlewati pada pelaksanaan aturan yang khas yakni sekolah tanpa pungutan, siswa mendapatkan bantuan baiya operasional  sekolah, hingga program Indonesia pintar (PIP). Di samping Kemendikbudristek, kementerian lain yang ikut menyelenggarakan pendidikan pun memberikan "gratisan" biaya pada siswa/mahasiswanya.

Benarkah pendidikan gratis mendongkrak semangat belajar siswa? Benarkah pendidikan gratis memotivasi kreasi orang tua siswa?

Pendidikan Gratis "ninabobo" Masyarakat Pendidikan


Mari sekadar menengok subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang selalu kontroversi, dan mungkin "kontraproduktif". Ketika subsidi BBM berlaku, siapakah yang paling banyak memanfaatkannya? Jawabannya masyarakat. Kategori masyarakat dalam kelas-kelas menjadi kabur ketika antrian kendaraan untuk mengisi BBM pada stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Siapa yang mengetahui bahwa masyarakat kelas menengah hingga elit sedang antrian di sana untuk ikut merasakan subsidi BBM? Jika diketahui, bagaimana menyapa, menegur dan menyampaikan kepada mereka tentang subsidi diberlakukan pada masyarakat kelas bawah?

Lalu, tengoklah sekolah-sekolah dan perguruan tinggi favorit, berapa banyak masyarakat kelas bawah yang membawa anak-anaknya ke sana? Di sana kaum elit: birokrat kelas atas, konglomerat, pejabat dan lain-lain; anak-anak  mereka berada di sana. Ekonomi para kaum yang disebutkan ini sungguh tak terbatas, sehingga ke sanalah mereka menempatkan anak-anak mereka. Atau bahkan anak-anaknya "bermanjaan" minta disekolahkan ke sana. Lantas kita bertanya lagi, adakah keuntungan pada kaum termarginalkan pada dua hal kontras ini?

Sekolah/PT favorit berbiaya tinggi, jangkauannya hanya ada pada mereka kaum elity, sementara kaum elementary tidak dapat dengan mudah sampai ke sana. Bahwa orang akan berkata, siswa dari kalangan masyarakat kelas bawah yang cerdas (IQ di atas rata-rata) mendapat beasiswa (gratis) di berbagai perguruan tinggi negeri. Berapa banyak yang seperti itu? Terbatas, bukan?

Lalu, BBM bersubsidi, PIP, PKH, dan subsidi lainnya "dihalalkan" cara pengambilannya di bank sehingga "persinggahan" seperti yang terjadi pada bantuan pembangunan kembali rumah penduduk akibat badai Seroja tidak perlu terjadi.

Mari bertanya, jika program-program bantuan pemerintah melalui anggaran negara (dan daerah) khususnya dalam rangka pendidikan gratis, tidakkah itu mesti dirasakan oleh masyarakat pendidikan? Jawabannya, ya; sudah ada di sekolah-sekolah dan sudah ada dalam pemanfaatannya.

Jika demikian kita bertanya, seberapa besar kemungkinannya untuk dinikmati oleh para pemangku kepentingan di sekolah? Jawabannya, kita lihat dana apa yang disebut Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dalam anggaran BOS yang dikucurkan dari APBN kepada sekolah-sekolah, bukankah anggaran standar minimal yang disalurkan? Bila menggunakan asumsi standar minimal, bukankah kita butuh anggaran lebih (maksimal) untuk pembiayaan penyelenggaraan pendidikan?

Orang tua manakah dari kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah yang kini akan merasa bertanggung jawab secara moral dan materil kepada pendidikan anak-anak? Mereka sudah "lepas tangan" oleh karena pemerintah telah mengambil alih pembiayaan dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Padahal BOS itu merupakan pembiayaan standar minimal, tetapi oleh karena kampanya pendidikan gratis amat sangat gencar, maka para orang tua pun telah berasumsi bahwa semuanya gratis. Orang tua sama sekali tidak lagi memiliki tanggung jawab material.

Bayangkan saja, biaya pendaftaran ke sekolah baru ditanggung oleh pemerintah. Ini telah meninabobokan orang tua pada upaya membawa anak ke sekolah. Bahwa ini memudahkan, tetapi mengapa pintu sekolah-sekolah favorit sesak pendaftar? Di sana mereka harus membayar biaya pendaftaran, sumbangan pembangunan dan lain-lain pada saat masuk ke sana, tetapi justru sesak pintunya. Lihatlah sekolah-sekolah yang digratiskan pembiayaan pada saat mendaftar, bahwa ada di sana siswa (orang tua siswa) yang mendaftar tetapi mereka tidak perlu berdesakan, tokh akan diterima karena faktor pembagian jatah domisili.

Ketika pendidikan gratis diberlakukan, bertempiksoraklah masyarakat pendidikan, khususnya para orang tua. Mereka tidak lagi akan "berkeringat" mengurus SPP atau tagihannya. Mereka akan fokus pada hal lain yang mungkin akan dibebankan sewaktu-waktu saja. Maka ringanlah para orang tua siswa, sehingga tanggung jawab mereka tersisa pada tanggung jawab moril belaka.  Kini, tinggallah tanggung jawab moril dan materil lebih besar ada pada pemerintah di semua jenjang, sekolah/guru dan siswa.

 

Kenangan pada Sumbagan Penyelenggaraan Pendidikan

Pada masa lalu sekolah negeri dan swasta memberlakukan penerimaan dana masyarakat yang disebut Sumbangan Penyelenggaran Pendidikan (SPP). Penetapan SPP pada sekolah negeri oleh pemerintah (di daerah), sedangkan pada sekolah swasta oleh Yayasan penyelenggara Pendidikan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat sekitar sekolah. SPP telah memberi dampak paling kurang pada sekolah (guru), siswa dan orang tua.

Pertama, Sekolah akan bekerja secermat mungkin untuk menggunakan dana masyarakat. Pada kesempatan pembagian laporan hasil belajar sekolah menyampaikan laporan pemanfaatannya melalui suatu badan yang disebut Perhimpunan Orang Tua Murid dan Guru (POMG) yang berganti baju organisasi menjadi Komite Sekolah. Sayang sekali, komite sekolah dikebiri untuk tidak mengadakan pungutan, kecuali penggalangan. Sekolah di pedesaan manakah yang pengurus komitenya mampu mengadakan penggalangan dana masyarakat untuk membantu anggaran standar minimal yang diberikan pemerintah?

Kedua, Orang tua sekalipun "berkeluh-kesah" pada pembiayaan ini, namun memiliki tanggung jawab moral dan materil. Maka, anak-anak yang dibiayai dengan SPP akan dipacu oleh orang tuanya untuk memanfaatkan waktu belajar reguler di sekolah sebaik mungkin. Hal yang mirip terjadi di rumah. Pada posisi ini orang tua turut bekerja bersama guru, bahkan pendekatan dan kedekatan dengan sekolah justru akrab. Orang tua siswa sering ke sekolah untuk menanyakan perkembangan pelajaran anak, termasuk melalui media komunikasi yang disebut Buku Konsultasi Orang tua  Siswa - Guru.

Ketiga, Siswa berada di antara orang tua dan sekolah. Dua badan/organ ini bagai "menjepit" siswa untuk bekerja keras dalam hal ini belajar karena telah dibiayai oleh orang tua, dan sekolah memegang kendali pengelolaan keuangan dari orang tua. Sekolah ikut bertanggung jawab kepada orang tua oleh karena dana yang disertakan melalui anak.

Jadi dengan pendekatan SPP ada tanggung jawab materil dan moril baik pada orang tua maupun sekolah, sementara pada anak (siswa) tanggung jawab moril dan spirit/motif. 

Penutup

Penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya tidak ada yang murah. Jika digratiskan betapa orang tua siswa akan berpangku tangan dan menonton guru dan siswa mendapatkan tekanan dari aspek administrasi/birokrasi dan politik? Guru antara mengajar dan mengurus beberapa dimensi administrasi termasuk keuangan BOS; siswa dimintakan belajar keras karena telah dibiayai oleh negara. 

Padahal, lebih banyak siswa justru tidak mengetahui apa saja isi dana BOS untuk mereka, kecuali mereka mendapatkan penjelasan itu dari gurunya. Di sisi lain, orang tua yang telah mengetahui dari mulut para politisi bahwa penyelenggaraan pendidikan gratis atas pembiayaan dari dana BOS, mereka tidak dengan mudah diajak untuk memberikan sumbangan, walaupun itu dapat dilakukan karena ada aspek legal standing yang dapat dipertangggungjawabkan.

Bahwa menggratiskan tidak harus dipolitisasi sehingga tidak ditangkap atau mendapat persepsi bahwa semuanya gratis. Orang tua gratis tanpa beban tanggung jawab materil. Hal politisasi anggaran dan pembiayaan operasional penyelenggaraan pendidikan berdampak pada keengganan masyarakat di sekitar sekolah untuk membantu pembiayaan. 

Orang tua yang sadar pendidikan saja yang rela memberikan uangnya untuk kepentingan pembiayaan pendidikan semahal apa pun itu. Tengoklah sekolah favorit dan perguruan tinggi dengan status badan usaha. Bukankah di sana berbiaya tinggi (mahal)?

Sampai di sini opini saya dari sudut pandang seorang guru di pedesaan. Bagaimana dengan para sahabat ?  

Umi Nii Baki-Koro'oto, 12 Desember 2022

Sumber: satu; dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun