"Jepang tidak akan bisa mengejar Amerika jika tidak belajar." (Kaisar Hirohito)
Pengantar
Siapa yang tidak ingat Kaisar Jepang, Hirohito? Kaisar Jepang yang paling lama menjunjung makhota dan menduduki takhta kekaisaran Jepang merupakan Kaisar ke 142. Â Selain sebagai simbol kekuasaan, kebudayaan, agama dan pelindung negara, Kaisar Hirohito tampil sebagai seorang terpelajar. Maka, sangat tepat ketika ia bertanya kepada para jenderalnya secara retorik, "berapa jumlah guru yang tersisa setelah Hirosima dan Nagasaki dihancurkan bom atom?" Â Adakah pertanyaan itu benar-benar ada? Ini suatu perdebatan para sejarawan, tetapi faktanya, Kekaisaran Jepang bangkit dengan prioritas, pembangunan pendidikan.
Para jenderal bingung dengan pertanyaan seperti itu. Bukankah para jenderal bertemu dengan Kaisar untuk membahas lanjutan perang setelah Angkatan Laut dan Angkatan Darat makin lemah? Bukankah para jenderal hendak mendapatkan petunjuk berbeda untuk pengambilan keputusan segera, taktis, tepat dan bergerak secara cepat menghadapi Amerika Serikat dan sekutunya?
Sang Kaisar justru berpikir lain, jauh dari latar pikir para jenderal yang pada akhirnya pulang untuk segera mengamankan kebijakan Sang Kaisar, mengumpulkan para guru di seluruh wilayah Kekaisaran Jepang. Hasilnya, 45.000 guru terkumpul. Lalu, secara pasti dunia pendidikan terlebih dahulu dibenahi di dalam Kekaisaran Jepang. Jepang pun bangkit.Â
Kehancuran Kota dan Spirit Guru ala Kaisar Jepang
Sejarah Dunia mencatat bahwa Perang Dunia II telah menghancurkan banyak kota. Amerika Serikat dan sekutunya berhasil melumpuhkan Jepang yang bergerak amat cepat dalam Perang ini. Pearl Harbour, salah satu kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat dilumpuhkan Jepang sebelum ia mengekspansi negara-negara di Asia Tenggara, di antaranya Indonesia. Gerak cepat semua angkatan perang Jepang menjadikannya tampil bagai singa kelaparan yang memangsa negara yang dikoloninya.
Saya ingat kata-kata para Opa-Oma  di kampung yang sempat bersentuhan dengan tentara Jepang.Â
"Tentara Teno Haika hanya 3 tahun, tapi sangat kasar dan jahat." Kira-kira satu kalimat deskripsi dari cerita para Opa-Oma pada tahun 1970-an ketika saya masih kanak-kanak.Â
Jepang akhirnya kalah dalam perang. Ia mengangkat bendera putih ketika 2 kota penting hancur akibat bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat dan sekutnya. Bom pertama jatuh pada 6 Agustus 1945 di kot Hirosima, dan bom kedua dijatuhan pada 9 Agustus 1945. Ratusan ribu nyawa tewas sia-sia, penderitaan pada mereka yang hidup, dan kehancuran dari berbagai aspek kehidupan. Penggunaan nuklir untuk pertama kalinya dalam sejarah peperangan sungguh sangat dahsyat dampaknya.
Kaisar Hirohito mengangkat bendera putih pada  15 Agustus 1945. Para jenderalnya terpaku. Mereka tidak dapat membantah keputusan Kaisar. Maka, langkah cepat dan taktis harus segera dimulai. Keputusan yang tidak diduga bahkan oleh para plitisi di parlemen Jepang. Sementara Amerika Serikat dan sekutunya mencari peluang dalam polemik untuk mendakwa Sang Kaisar Â
Kaisar Hirohito yang hendak diajukan ke pengadilan sebagai penjahat perang, hanya menuai polemik. Sang Kaisar tetap berada di singgasananya, bersama para Perdana Menteri dan Kabinet-kabinetnya membangun bangsa negara kekaisaran yang hancur luluh.
Gej0lak politik dalam negeri Jepang tidak mengendurkan semangat untuk memajukan bangsa dan negara. Pergantian para Perdana Menteri dalam waktu yang relatif amat singkat sesudah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, terasa mengganggu jalannya roda pemerintahan dan restorasi pembangunan pada era baru.Â
"Berapa banyak guru yang tersisa?" Satu pertanyaan menghentak. Jumlah guru yang dipertanyakan Sang Kaisar, tidak menjadi wacana dan polemik berkepanjangan. Para jenderallah yang mengambil alih tugas mengumpulkan para guru. Restorasi pembangunan pada era baru Kekaisaran Jepang dimulai dari dunia pendidikan. Urgensinya, guru. Pendidikan dan pelatihan secara ketat kepada para guru segera dimulai. Pendidikan karakter ditanamkan secara amat sangat ketat. Guru berkarakter roh kebudayaan Jepang yang akan membawa generasi muda memulai Jepang pada era baru. Perkembangan baru pun dimulai, Jepang pun berkembang maju dan naik pada banyak aspek karena dimulai dari pendidikan (dhi.guru)
Mengapa Gubernur Jawa Tengah menyebut secara terbuka untuk meniru spirit Jepang? Sang Gubernur berpidato pada puncak peringatan HGN, HUT PGRI ke-77 di Marina Convention Centre (MCC) Semarang (3/12/22). Ia bertanya kepada para guru yang hadir di sana, "Pertanyaan sederhananya, bisa nggak kita menyamai capaian Jepang itu? Bisa nggak spirit Jepang itu kita tiru?" kata Ganjar.Â
Meniru atau mengimitasi produk maka hasilnya tidak orisinil. Ya, banyak barang yang ditiru kualitasnya tidak prima.Â
Tentu yang dimaksudkan oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bukan barang, tetapi spirit, roh, semangat. Kita perlu bertanya, apakah spirit yang dimiliki bangsa Jepang jauh berbeda dengan yang dimiliki bangsa Indonesia? Jika di sana ada semangat membara untuk membangun bangsa dan negeranya dengan kekuatan sendiri, bukankah bangsa kita pun memilikinya? Jika ada karakter bangsa yang kuat pada mereka, bukankah kita pun memilikinya? Apakah ada yang keliru atau salah dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sehingga seorang Gubernur Jawa Tengah menawarkan spirit dari Jepang untuk ditiru di Indonesia?Â
Kebijakan pembanguna pendidikan di Jepang pada era baru sesudah kekalahan dalam Perang Dunia II diisi dengan roh pendidikan berkulalitas dalam akselerasinya, berkarakter budaya dalam implementasinya. Sejarahnya, mereka membentuk Dewan Pendidikan Nasional yang khas untuk mengamankan kebijakan Kaisar Hirohito. Pendidikan Guru berkarakter, berpengetahuan dan berketrampilan dilakukan setiap tahun.
Bukankah di Indonesia semua itu telah ada dalam regulasi dan implementasinya? Dimanakah letak kelemahan penyelenggaraannya sehingga Ganjar Pranowo minta untuk mengimitasi spirit Jepang ke Indonesia? Beberapa hal sebagai refleksi saya coba tunjukkan di sini.
- Mental proyek. Kira-kira salah satu di antaranya. Banyak kali penataran, pelatihan berakhir dengan anggaran yang terbuang sia-sia. Para guru yang mengikuti penataran, pelatihan, dan lain-lain kegiatan yang sifatnya penguatan dan pengembangan ketrampilan guru, justru tidak diwujudkan dalam praktiknya di sekolah. Habis diklat telat masuk sekolah, minta gaji lancar.  Jadi, masalah kita yang pertama ada pada  karakter guru. Berkeluh-kesah, galau, jiwa juang rendah, tetapi bersemangat untuk mendapatkan lulusan yang berkualitas dan cemerlang.Â
- Pahlawan tanpa tanda jasa. Frasa ini melemahkan guru. Bertahun-tahun sejak hymne guru diciptakan, dinyanyikan oleh para siswa dan guru, frasa ini bukanlah menjadi pemicu semangat, justru melemahkan semangat guru. Ini pun menyangkut karakter guru.
- Janji politik: pendidikan gratis, kesejahteraan guru terjamin, 8 standar pendidikan terpenuhi; adakah semuanya terpenuhi? Ini masalah kebijakan baik pada pemerintah pusatu maupun pemerintah daerah.
PenutupÂ
Peringatan HGN, HUT PGRI ke-77 telah usai. Para pengurus PGRI dan anggota yang sempat hadir telah kembali ke daerah masing-masing dengan kesan yang sungguh mengesankan. Bersua langsung dengan Presiden NKRI, Ir. H. Joko Widodo. Mendengarkan pidato yang menggelegar, menyentuh rasa dan menginjeksikan motivasi.
Kini kita bertanya, dapatkah pidato itu membekas dan dapat diwujudkan dalam tugas rutinitas para guru? Jawabannya, isi pidato akan ada dalam ingatan. Wujudnya dalam sikap dan tindakan, masing-masing guru yang mengetahuinya, termasuk saya yang menulis artikel ini.
Amarasi Selatan, 5 Desember 2022
[saya mohon kritik dan saran dari para sahabat yang sempat membaca artikel ini, terima kasih]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H