"Aneh sekali, kadang kamu bisa mengubah perasaanmu hanya dengan satu klik seperti kamu mengubah channel radio."Â (Ken Terate/Penulis)
Pengantar
Jujur, saya sudah lama kurang mendengar siaran radio. Pada masa pandemi covid-19 saya sempat dihubungi penyiar RRI Kupang untuk wawancara terkait pembelajaran daring atau luring sebagai guru di pedesaan. Selanjutnya masih sempat ada wawancara lagi untuk uraian satu topik yang berhubungan dengan tata cara masyarakat adat Pah Amarasi (Amarasi Raya) memelihara hutan dan tata berladang. Jadi, saya mendengar sesuai kebutuhan. Itu pun dilakukan melalui sambungan pada handphone android yang ada tools radio.
Sehubungan dengan topik pilihan Kompasiana tentang Membuat Radio Kembali Relevan dengan Pendengarnya, saya mencoba menulis di sini. Sayangnya, tulisan ini pun tak mungkin dapat memberikan alternatif yang tepat di tengah gempuran media sosial dengan segala aksesori akseleratifnya yang eksotis.
Gema Siaran Radio Redup?
Saya ingat ketika masih kanak-kanak, benda berharga paling bernilai di rumah kami yakni radio dengan tenaga baterai. Siaran pagi, sore dan malam akan kami ikuti, terutama berita-berita seputar Nusa Tenggara Timur, kemudian bila berita nasional, RRI Kupang akan "bersatu" dengan RRI Jakarta. Â Penyiarnya akan berkata,"Kita akan bersatu dengan RRI Jakarta untuk mengikuti Warta Berita." Lalu selanjutnya diikuti musik pengantar dan jadilah berita dibacakan. Sesudah seluruh berita dibacakan diakhiri dengan lagu, Bagimu Negeri.
Lagu-lagu wajib nasional seperti Bagimu Negeri dan yang lain-lainnya, saya (dan kami) yang berada di kampung dapat dengan segera mengetahuinya dan makin baik dinyanyikan ketika bersama-sama dengan guru dan teman-teman sekolah di ruang belajar. Lagu-lagu itu selalu ada dalam di akhir siaran radio baik ketika berita daerah dan nasional dibacakan.Â
Satu hal yang sangat khas dari siaran radio, khususnya Radio Republik Indonesia yakni musik pengantarnya. Nah, ini patut disyukuri bahwa untuk membangkitkan kenangan, ternyata ada linknyaÂ
Pengalaman lainnya yakni ketika penyiar RRI Kupang akan membacakan Radiogram dan Berita Keluarga. Mengapa Radiogram menjadi penting pada pendengaran kami yang masih anak-anak? Karena sangat sering para guru akan dipanggil melalui radio. Bila guru akan berangkat oleh karena "panggilan radio" maka anak sekolah dipastikan akan "merdeka belajar". haha... Sementara Berita Keluarga perlu didengarkan karena di sana ada pesan-pesan dari keluarga-keluarga yang berada di tempat jauh yang mengabarkan tentang kematian/kedukaan. Nada musik yang mendahului selalu sangat khas. Di sini pun ada kenangannya.
Ketika beranjak dari kampung, pindah ke kota Kupang untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan lanjutannya di kota Kupang, saya menyukai siaran Voice of America (VoA). Dari siaran saya mengikuti perkembangan apa yang sedang terjadi di dunia internasional, selain menonton televisi (hitam-putih, 14 inci) TVRI khususnya pada Dunia Dalam Berita.
Mendengarkan radio di kota Kupang sebagai suatu kesenangan, sehingga ketika liburan, saya (atau kami) yang bersekolah di kota Kupang akan rindu mendengarkan radio. Maka, setibanya di kampung, radio yang ada di rumah akan kami hidupkan untuk mendengarkan selama mungkin, walau mesti mendapatkan teguran karena daya pada baterei perlu dihemat.
Pengalaman mendengarkan radio pada siaran-siaran berita, dan musik pengantar, lagu wajib nasional, dan lagu pengantar berita duka menjadi kenangan tersendiri ketika televisi, video mulai membanjiri dunia hiburan. Di sana terlihat layaknya kompetisi antar radio, koran, majalah, tabloit dan televisi dalam mengejar rating dan merebut hati pembaca dan pemirsanya.
Radio Republik Indonesia pun mendapat kompetitor dari radio siaran swasta, bahkan terasa seperti lebih dominan radio swasta,padahal jangkauannya tidak seluas dan sejauh RRI. Radio swasta tumbuh di perkotaan yang melahirkan penyiar-penyiar muda potensil. Suara mereka mendayu-dayu, bila membacakan pesanan lagu pendengarnya. Seterusnya, radio swasta menyiarkan drama radio yang menghanyutkan rasa atau mendesirkan darah.Â
Siaran drama radio yang sangat diminati akan ditunggu-tunggu jadwal siarnya setiap hari. Ini suatu hal menarik. Dari drama radio pendengarnya dilatih untuk menajamkan pendengaran dan insting yang mengimajinasikan gerak, sikap, mimik, dan berbagai hal yang tidak terlihat. Semua itu hanya didengarkan dengan mainan iringan musik antara syahdu menghanyutkan, atau keras mendebarkan.
Khusus pada Radio Republik Indonesia, bila hari radio tiba, lagu marsnya akan menggema, ...sekali di udara tetap di udara, semenjak 45 sampai nanti...Â
Nah, kini penggalan frasa mars RRI yang saya kutip di atas pasti masih menggema, tetapi siapakah pendengarnya? Pasti masih ada pendengarnya, namun berapa prosentasenya? Butuh riset untuk mengetahuinya.
Satu hal kiranya dapat dilakukan oleh radio, kreasi siaran bergaya podcast mungkin akan membawa pendengarnya kembali memasang telinga. Radio milik pemerintah (RRI) dan radio swasta selain beriklan juga masih memungkinkan untuk melakukan siaran dengan pendekatan podcast. Hal ini tentu sejalan dengan permintaan pasar. Radio pun dapat memanfaatkan media sosial untuk mengiklankan program siarannya. Saya lebih yakin bahwa apa yang saya tulis ini telah dilakukan oleh manajemen radio (pemerintah dan swasta). Mereka lebih profesional dibandingkan apa yang saya pikirkan.
Penutup
Radio mungkin sedang di ambang kenangan. Mungkin akan masuk museum sebagai barang berharga. Studio-studio radio mungkin akan berganti nama dan fungsi bangunan. Entahlah, tetapi satu kepastian bahwa akselerasi dan tekanan kompetitor media pada zaman digital ini memaksa manajemen radio untuk bekerja di dalam arus digitalisasi pula.
Kita percaya radio masih akan tetap exis pada masa ini, dibanding media arus utama cetak (koran, majalah, tabloid). Â
Terima kasih Kompasiana untuk topik ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H