Pengantar
Seorang mahasiswi Pascasarjana sering berdiskusi via WhatsApp. Kami belum pernah bertemu sebelumnya, tetapi diskusi selalu menarik karena topik yang ditawarkan berkaitan dengan kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksudkan yakni kebudayaan Meto' pada masyarakat Atoin Meto' di Pah Amarasi (Amarasi Raya). Ia melihat sesuatu yang menarik untuk ditelisik dari aspek teologi sosial. Pertemanan dan diskusi telah berlangsung dalam beberapa waktu sebelumnya setelah ia mendapatkan nomor WhatsApp dari seorang sahabat di desa tetangga.
Hari ini, Sang Mahasiswi berkunjung ke rumah kami di desa. Dalam pertemuan di rumah kami, ia menanyakan beberapa hal yang kiranya menjadi "pintu masuk" ke dalam riset yang akan dirancangnya. Kira-kira demikian maksud dari pertemuan dan diskusi yang kami lewati pada sore tadi.Â
Nah, diskusi itulah yang akan saya kemas kembali dalam tulisan ini agar tidak hilang dari ingata. haha...
Diskusi Budaya Kekerabatan Masyarakat Adat Amarasi
Budaya kekerabatan dalam masyarakat adat Atoin Meto' Amarasi yang dimintakan diskusi oleh Sang Mahasiswi saya bawa dalam beberapa istilah.
A'boko mese'Â artinya satu buah labu. Masyarakat adat Atoin Meto' Amarasi mempunyai istilah yang menarik untuk menggambarkan kekerabatan, hai 'boko mese' ~ (harfiah~kami satu buah labu); hai mpoi 'boko mese' (harfiah~kami keluar dari satu buah labu). Maknanya faktual; orang mengenal buah labu. Di dalam buah labu ada biji-biji bakal benih yang akan ditanam lagi untuk menghasilkan labu-labu baru pada musim tanam berikutnya. Biji yang menjadi benih dapat pula diambil orang untuk ditanam di ladang yang saling berjauhan. Hasilnya tetap labu yang sama. Makna filosofinya, masyarakat adat Atoin Meto' Pah Amarasi mempunyai keyakinan kekerabatan bahwa keluarga-keluarga yang tersebar di berbagai tempat, sangat sering masih ada pertalian satu dengan yang lain. Hal ini dapat dilihat dari nama keluarga (nonot;Â misalnya Ataupah, Nubatonis, Bijae, Bani, Ora, dan lain-lain). Nama-nama keluarga yang menyebar di beberapa tempat itu bila diurut-urutkan silsilah akan didapati mereka berasal dari keturunan yang sama, maka sebutannya menjadi hai 'boko mese'Â (harfiah ~Â kami dari satu buah labu yang sama)
Kona' mese'Â artinya, satu lubang. (maaf). Kona' yang dimaksudkan di sini yakni jalur keluarnya makhluk manusia ketika lahir. Â Sekalipun sebutannya demikian, namun bila orang menerjemahkannya tidak menyebut "lubang" tetapi menggunakan istilah pintu; satu pintu. Kalimat yang dipakai berbunyi, hai mpoi kona' mese' (harfiah ~Â kami keluar melalui satu pintu).Maknanya, kami semua sebagai sesama saudara sekandungan.
Umi nanan, a'si'u, dan nonot.  Dalam budaya Atoin Meto' pada umumnya, orang mengenal tiga istilah ini, umi nanan, (harfiah ~ rumah dalam), a'si'u (ruang yang lebih luas masih di dalam rumah, biasanya ruang tamu) nonot (harfiah ~ tiris). Ketiga istilah ini bertalian satu dengan yang lainnya.Â
Satu keluarga dengan sejumlah anak mereka sesama umi nanan, kelak kemudian ada yang menikah khususnya anak-anak gadis yang meninggalkan keluarganya dan bersatu dengan keluarga suaminya, mereka selanjutnya berada di a'si'u dan selanjutnya bila makin berketurunan dan bertambah banyak dengan nama marga bervariasi, mereka itu sudah berada di nonot. Pada tataran tertentu mereka yang berada dalam ketiga ranah itu masih akan menyebut diri sebagai umi nanan. Hal ini untuk menggambarkan asal usul dari leluhur yang sama
Umi - Ropo/Lopo; Masyarakat Adat Atoin Meto' pada umumnya mengenal Umi (ume) yang selalu berpasangan dengan Ropo/Lopo. Umi berkonstruksi bulat lancip/bersudut sampai puncaknya, ditutup/atap dari bawah dengan pintu yang amat pendek. Ini melambangkan perempuan (ibu). Ropo/lopo, bertiang empat, rangka atap bulat, tanpa dinding. Ini melambangkan laki-laki. Maknanya masyarakat adat Atoin Meto' memisahkan area kerja antara laki-laki dan perempuan.Â
Matsao bifee tunaf (harfiah, menikahi isteri tungku), tani-abas kais natfeek (harfiah ~ tali dan benang tidak putus). Menikahkan pemuda-gadis yang ditentukan oleh orang tua dapat saja terjadi. Bila hal itu dilakukan maka tujuannya untuk tidak putus hubungan kekerabatan. Hal ini dilakukan bila merasa bahwa keluarga-keluarga yang telah menggenerasi telah berada dalam jumlah yang besar sehingga ada kemungkinan terjadi kerenggangan kerabat. Salah satu pendekatan yakni matsao bifee tunas agar tani-abas kais natfeek.Â
Demikian ringkas diskusi dengan Sang Mahasiswa.
Kain Selendang khas dari Alor
Kami sudah harus berpisah untuk sementara waktu. Sang Mahasiswa akan kembali baik ke kota dan akan melanjutkan ke Salatiga. Ia memberikan hadiah kejutan pada saya. Dua lembar selendang kecil khas Alor Timur dan pulau Ternate. Saya terkejut dibuatnya berhubung belum pernah terjadi ada mahasiswa berdiskusi dengan saya lantas memberikan hadiah seperti ini.Â
Dua lembar selendang kecil ini diperuntukkan untuk saya dan isteri saya. Sayang sekali isteri saya tidak berada di rumah pada saat Sang Mahasiswa berkunjung. Tugas dari institusi keagamaan lokal pada isteri saya untuk suatu kegiatan kaum perempuan gereja diikutinya untuk durasi 4 hari (pergi pagi - pulang petang). Jadilah saya mewakili ibu untuk menerima hadiah ini.
Alor Timur, satu wilayah terjauh di Pulau Alor. Sementara pulau Ternate yakni salah satu pulau di gugusan kepulauan Alor, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya mesti menulis seperti ini agar tidak bias pikir tentang Ternate yang ada di Maluku Utara.Â
Kabupaten Alor terdiri dari beberapa pulau, di dalamnya terdapat tiga pulau besar yang diistilahkan oleh masyarakat sebagai Tribuana (tiga daratan). Tiga daratan besar ini disangga oleh pulau-pulau kecil di sekitarnya yang menambah eksotisnya Kabupaten/Kepulauan Alor.
Tenunan sebagai salah satu kerajinan khas masyarakat Alor, sebagaimana umumnya masyarakat penenun di Nusantara. Bedanya, tenunan khas masyarakat adat di gugusan Kepulauan Alor saling berbeda yang menunjukkan kekhasan masyarakatnya.
Pada gambar di bawah ini, kain tenunan dengan warna menyolok hijau, berasal dari pulau Ternate/Alor, sementara yang bercorak belang putih-hitam dan dengan bentuk-bentuk simetris, milik dan berasal dari Alor Timur
Penutup
Diskusi telah berakhir. Pemberian hadiah tanda kenangan pun telah usai, tetapi komunikasi tetap akan dibangun dalam diskusi yang saling membangun, membagikan inspirasi dan pengetahuan. Suatu perkembangan yang baik di zaman digital ini dimana diskusi dapat dilakukan melalui aplikasi-aplikasi. Pengetahuan makin menyebar, dunia makin sempit sebagaimana kata orang, dunia zaman ini bagai satu kampung global.
Terima kasih kaka Ona yang sudah berkunjung ke Umi Nii Baki. Rumah adat yang tidak ada konstruksinya sebagaimana yang pernah dibangun oleh leluhur kami. Rumah adat yang fungsional tanpa konstruksi yang terlihat. Semoga diskusi ini menjadi pintu masuk pada saat menyiapkan rancangan penelitiannya. God in Holy Jesus name blesses you.
Umi Nii Baki-Koro'oto, 3 Desember 2022Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H