"Itu tugas Guru Piket, pak!"
Ketika pernyataan seperti itu muncul, maka hanya guru piket yang setiap harinya bersama para siswa baik pada apel pagi maupun apel siang saat pulang. Hanya guru piket yang rajin saja yang akan mengatur kondisi kesiapan lapangan upacara.Â
Guru piket yang senior atau yang sudah bosan, tak akan melakukan hal itu, apalagi guru-guru itu berasal dari kampung sendiri.Â
Guru yang bertugas di dalam kampung sendiri, akan ada begitu banyak alasan untuk terlambat masuk sekolah. Mengurus isteri, anak, rumah, dan lain-lain. Kepala sekolah manakah yang akan menegakkan disiplin pada guru yang datang dari kampung sendiri? Mereka merasa lebih kuat daripada kepala sekolahnya.Â
Mereka jagoan kampung, yang dalam bahasa gaul zaman ini anak kampung sendiri (akamsi). Sebagai akamsi mereka tidak peduli pada penegakan disiplin oleh Kepala Sekolah. Mengapa? Karena kepala sekolah akan terhantui masyarakat di kampung itu.
Penegakan disiplin dengan cara yang soft pada akamsi tidak selalu mudah. Bila menggunakan pendekatan yang hard akan berdampak negatif pada harmoni komunikasi guru-kepala sekolah.Â
Suatu dilema. Pengalaman dalam lebih dari 20 tahun sudah terlihat di sekolah-sekolah pedesaan. Keluhan dan galaunya hati para kepala sekolah pada sikap para guru akamsi.Â
Pada upara Hari Guru Nasional, HUT PGRI ke-77, suatu pernyataan keluar dari mulut Inspektur Upacara yang mengutip pesan seorang guru pensiunan.Â
"Seorang guru yang berasal dari dalam kampung sendiri, semestinya bekerja lebih baik daripada guru yang didatangkan/ditempatkan." Mungkinkah pesan ini dipahami oleh para guru akamsi?
Bagaimana dengan siswa? Siswa, sebagai anak di sekolah menjadi peniru yang baik. Mereka akan meniru apa yang dibuat oleh gurunya. Gurunya terlambat, siswanya lebih lagi.Â
Bila gurunya datang lebih awal pada hari tertentu karena kagetan, ia akan memarahi siswa karena keterlambatan mereka. Ia lupa bahwa siswanya meniru gurunya yang suka terlambat dengan alasan yang tidak diketahui siswa.